Resensi Kasus Eksperimen Manajemen Subjek dan Etika - Kelas Ekonomika

Post Top Ad

Saturday, March 31, 2018

Resensi Kasus Eksperimen Manajemen Subjek dan Etika


Eksperimen Milgram’s Obedience


Eksperimen Milgram adalah eksperimen psikologi sosial yang dilakukan oleh psikolog Stanley Milgram. Eksperimen ini dilakukan pada Bulan Mei 1962 di Laboratorium Universitas Yale. Tujuan dari eksperimen Milgram adalah untuk mengetahui sejauh mana seseorang akan patuh dan taat terhadap perintah yang diberikan seseorang yang memiliki otoritas walaupun perintah tersebut berlawanan dengan hati nurani seorang manusia.

Latar belakang eksperimen ini adalah adanya kasus pembantaian masal terhadap orang Yahudi yang dilakukan oleh Adolf Eichmann. Eichmann menyatakan bahwa ia hanya menjalankan perintah atasan.
Subjek yang dibutuhkan untuk melakukan eksperimen adalah sebanyak 40 orang beruisia 20 s.d. 50 tahun yang berasal dari wilayah Greater Newheaven. Subjek diperoleh dari tawaran iklan di surat kabar dan email. Pekerjaan para subjek mulai dari pegawai perusahaan sampai tukang bangunan dengan latar belakang pendidikan mulai dari lulusan SD sampai tingkat doktoral dan gelar professional lainnya. Setiap subjek diberi kompensasi sebesar US $4.50.

Ada tiga macam peran utama dalam eksperimen ini yaitu pihak yang memiliki kekuasaan (otoritas), guru, dan murid. Eksperimenter beperan sebagai pihak yang memilki otoritas dan terus mencoba memberikan sugesti kepada guru untuk mematuhi perintahnya. Untuk menentukan siapa yang menjadi guru dan siapa yang menjadi murid, eksperimenter seolah-olah melakukan pengundian secara acak padahal semua partisipan pasti berperan sebagai guru. Peran sebagai murid dimainkan oleh seorang aktor pembantu eksperimenter. Guru dan murid dipisahkan oleh ruangan yang berbeda namun masih bisa saling berinteraksi menggunakan komputer. Tugas guru adalah sebagai asisten dari eksperimenter yang membacakan soal dan mengoperasikan alat kejut listrik, sedangkan murid bertugas menjawab soal. Apabila murid tidak dapat menjawab pertanyaan dengan benar, maka guru berhak untuk menghukumnya. Hukumannya berupa sengatan listrik dengan level yang berbeda dari rendah ke tinggi sebanyak 30 level, mulai dari 15 volt sampai dengan 450 volt. Setiap kali murid menjawab salah, maka guru berhak memberi hukuman. Tentu saja alat sengatan listrik yang digunakan bukanlah alat sengatan listrik yang sebenarnya. Begitu pula dengan teriakan kesakitan para korban, hanya acting semata. 

Hasil eksperimen menunjukkan, dari 40 orang partisipan, sebanyak 26 orang memberikan tegangan tingkat tertinggi sementara 14 orang berhenti sebelum mencapai tingkat paling tinggi.
Kesimpulan dari Eksperimen Milgram adalah seseorang yang tanpa memiliki riwayat perbuatan kejam sebelumnya pun dapat bertindak kejam akibat perintah seseorang yang dianggapnya memiliki otoritas yang tinggi.


Isu Etika

Eksperimen Milgram mengakibatkan perdebatan masalah etika. Beberapa orang beranggapan bahwa perlakuan terhadap subjek telah melanggar etika. Subjek dibuat mengalami tekanan psikis akibat akting dari aktor murid dan intervensi sang eksperimenter. Tekanan psikis tidak mudah begitu saja hilang sehingga memungkinkan para subjek akan mengalami penderitaan sepanjang hidupnya.

Desepsi yang dilakukan oleh eksperimenter juga merupakan pelanggaran etis. Para subjek mungkin dapat lebih mengontrol emosinya apabila mereka tahu bahwa alat pengejut listrik yang dipakai hanyalah tiruan belaka dan teriakan kesakitan si murid hanyalah akting belaka. Namun, validitas eksperimen juga dikorbankan.

Lalu, bagaimana seharusnya eksperimen dengan menggunakan desepsi ini dilakukan? Penggunaan desepsi seharusnya tidak sampai pada tingkat yang dapat menyebabkan kerugian bagi subjek eksperimen. Eksperimenter sebaiknya langsung menghentikan eksperimen atau membuka desepsi ketika subjek mengalami respons yang berlebihan diluar prediksi eksperimenter. Selain itu, eksperimenter juga sebelumnya harus mendiskusikan rancangan eksperimen ini dengan dewan etika yang ada sehingga efek negatif dari sebuah eksperimen dapat diminimalkan.

Eksperimen Stanford Prison

Eksperimen Stanford Prison dilakukan di Universitas Stanford pada tahun 1971 oleh Dr. Philip Zimbardo. Tujuan dari eksperimen ini adalah untuk menguji perilaku seseorang jika ditempatkan ke dalam posisi sebagai tahanan ataupun penjaga tahanan. Subjeknya adalah 24 orang mahasiswa yang tidak pernah memiliki catatan kriminalitas dan tidak mengalami gangguan psikologis.

Proses penangkapan, pemenjaraan, dan perlakuan terhadap partisipan dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai kejadian sebenarnya. Para partisipan yang berperan sebagai tahanan benar-benar didatangi ke rumahnya dengan mobil polisi sungguhan dan ditangkap di depan umum. Ketika sampai di penjara, mereka dilucuti pakaiannya dan digantikan dengan pakaian penjara lengkap dengan nomor identitas kemudian kakinya dipasang rantai. Mereka diperlakukan seolah-olah pelaku kejahatan yang sebenarnya.

Eksperimen rencananya akan berlangsung selama 14 hari. Namun, setelah hari pertama saja masing-masing grup subjek telah menjalani perannya dengan penuh penghayatan. Para Penjaga tahanan mulai menunjukkan sifat kejamnya terhadap para tahanan. Setelah hari ke-5, para partisipan yang berperan sebagai tahanan tidak tahan dengan perlakuan para penjaga tahanan yang telah menjadi benar-benar menghayati perannya secara berlebihan sehingga melanggar batas-batas kemanusiaan. Kemudian, eksperimen dihentikan.

Walaupun eksperimen tidak berjalan sampai hari ke-14, Zimbardo memiliki bukti yang kuat untuk menyimpulkan bahwa orang-orang biasa yang sehat secara psikologis pun dapat melakukan kekejaman jika berada dalam posisi yang mendukung mereka untuk melakukan tindakan kekejaman.

Isu Etika

Penggunaan subjek eksperimen berupa manusia seperti yang dilakukan oleh Zimbardo dalam ekseperimen ini dapat menimbulkan tekanan psikis. Terbukti banyak korban yang terkena dampak negatif eksperimen. Para pertisipan yang berperan sebagai penjaga tahanan dapat berubah sifatnya menjadi paranoid terhadap para tahanan, sedangkan para tahanan mengalami gangguan emosi dan depresi.


Walaupun eksperimenter sudah jelas-jelas menyatakan kepada para subjek bahwa kegiatan tersebut adalah kegiatan bermain peran, namun efek dari kegitan itu ternyata tidak dapat diterima oleh para subjek. Pelanggaran nilai etika dalam ekseperimen ini terjadi ketika subjek mendapatkan efek negatif yang begitu besar terhadap kondisi psikisnya.

Lalu bagaimana sebaiknya eksperimenter merancang permainan peran seperti ini? Eksperimenter harus segera menghentikan permainan begitu terjadi gejala respons yang berlebihan dari subjek eksperimen. Selain itu, sebelum melakukan eksperimen, eksperimenter juga harus mendapatkan izin dari lembaga yang memiliki otorisasi permasalah etika dalam penelitian eksperimental seperti ini.

Post Top Ad