Review Artikel: Do Aid Agencies Have A Comparative Advantage in Fighting Corruption in Africa? - Brian Cooksey - Kelas Ekonomika

Post Top Ad

Saturday, March 31, 2018

Review Artikel: Do Aid Agencies Have A Comparative Advantage in Fighting Corruption in Africa? - Brian Cooksey

Berangkat dari fakta bahwa korupsi merupakan jaringan patronasi yang terintegrasi secara kompleks di dalam sistem politik Afrika, penulis, Brian Cooksey berhipotesis bahwa permasalahan korupsi di Afrika tidak dapat diselesaikan oleh lembaga pemberi bantuan seperti International Monetary Fund (IMF), the World Bank, and the African Development Bank dengan memberi bantuan dana yang lebih banyak.


Word Bank telah menegaskan bahwa akan mengadopsi strategi “zero tolerance” terhadap korupsi kepada pemerintahan negara penerima bantuan. Artinya, akan terdapat pengurangan pemberian bantuan yang signifikan kepada negara-negara yang memeiliki permasalahan korupsi yang parah seperti negara-negara sub-Sahara Afrika. Para pendonor pun tidak akan rea untuk mengorbankan dana bantuannya untuk dikorupsi.

Secara normal, keputusan World Bank dalam memberi bantuan akan mempertimbangkan tingkat permasalahan korupsi di negara penerima bantuan. Ini terlihat dari penilaian internal dan eksternal dalam rangka pemberian pinjaman bank yang menunjukkan tingkat kegagalan proyek yang jarang terjadi beberapa tahun. Kecuali untuk proyek yang bertujuan untuk meberikan bantuan kepada masyarakat miskin, contohnya mesyarakat di negara-negara sub-Sahara Afrika. Korupsi, patronasi, kegagalan manajemen, dan pemborosan merupakan penyebab kegagalan proyek.
Penulis kemudian memaparkan sebuah konsesus yang berkembang bahwa penyesuaian struktur pinjaman telah gagal mengubah perekonomian Afrika dan masyarakat miskin menjadi korban. Selanjutnya, secara eksplisit penulis menjelaskan bahwa hal-hal yang melatarbelakangi penelitiannya adalah:

  1. Meluasnya kegagalan proyek yang didanai dengan pinjaman dan program penyesuaian struktural untuk mengurangi kemiskinan.
  2. Peran korupsi dalam kegagalan proyek tersebut.
  3. Utang kepada pihak eksternal dari negara sub-Sahara Afrika yang mencapai 200 miliar dollar.

Penulis juga memperhatikan bahwa pada masa sekarang, inisiatif pemberi dana bantuan untuk mewujudkan antikorupsi memiliki tiga bentuk, yaitu:

  1. Proyek berskala besar yang mempromosikan tata kelola sektor publik dan swasta yang mencakup proyek khsusus antikorupsi.
  2. Menetapkan syarat antikorupsi kepada negara penerima bantuan.
  3. Pembersihan internal, termasuk meningkatkan supervisi terhadap staf dan menerapkan aturan yang tegas kepada para konsultan dan pejabat pengadaan.

Inisiatif yang harus diikuti dengan tingkat transparansi yang tinggi terebut mengakibatkan adanya program penilaian kelayakan untuk menentukan manfaat yang dapat diperoleh dari bantuan rakyat miskin. Namun proposal yang transparan seperti itu tidak menarik bagi para pemberi bantuan dan penerima bantuan, karena:

  1. Kedua belah pihak memiliki banyak hal yang dirahasiakan, termasuk korupsi.
  2. Konsekuensi yang dapat terjadi dari reviu secara objektif dalam pemberikan bantuan (seperti penurunan jumlah negara penerima bantuan dan jumlah sektor/proyek), tidak dapat diterima.
  3. Penilaian yang terlalu jujur atas dampak dari pinjaman yang sebelumnya, akan menyebabkan kredibilitas International Fianancial Institutions (IFIs).

Sehingga penulis berpendapat bahwa tekanan untuk meningkatkan transparansi ini harus dilakukan oleh pihak eksternal seperti organiasi non-pemerintah, kelompok politik, dan dewan demokratis negara pendonor.
Berikut adalah beberapa literatur yang juga dijadikan dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian:

  1. Bantuan tidak efektif di mana institusi politik lokal lebih menanggapi imperatif patronasi daripada akuntabilitas publik (Chabal dan Daloz, 1999);
  2. Bantuan keuangan memberikan lebih banyak kerugian daripada kebaikan dalam hal mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyesuaian struktural jika pembuatan kebijakan lokal dan kapasitas pelaksanaannya lemah (Dolar dan Pritchett 1998);
  3. Proyek sebagai alat penyampaian bantuan jarang menjangkau orang miskin atau memberikan keuntungan berkelanjutan (Caufield 1996);
  4. Personel asisten teknis pemberi bantuan kurang diperhatikan oleh penerima bantuan dan saran mereka jarang digunakan dengan baik (Berg 1993; 1998);
  5. Bantuan telah mendorong dan memaafkan korupsi yang sistematis baik secara langsung maupun tidak langsung (Cooksey 1998, 1999).

Semua kritik atas bantuan di atas, dan lainnya, terutama berlaku untuk konteks Afrika Sub-Sahara.
Berikut adalah isu utama yang dapat dijadikan bahan untuk mengidentifikasi keunggulan komparatif lembaga bantuan dalam memerangi korupsi di Afrika:


  1. Pemerintah penerima di Afrika secara rutin menyalahgunakan bantuan untuk tujuan patronasi.
  2. Hal yang paling rentan terhadap korupsi adalah pinjaman dari IFI dan bank pembangunan regional untuk proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah nasional dan kementerian sektoral.
  3. Bantuan untuk kondisi darurat dan kemanusiaan sangat rentan untuk disalahgunakan, termasuk korupsi.

Kemudian penulis mengkritisi tiga bentuk inisiatif lembaga pemberi donor dana bantuan dalam rangka mencegah korupsi, yaitu sebagai berikut:

  1. Kritik terhadap inisiatif proyek berskala besar yang mempromosikan tata kelola sektor publik dan swasta yang mencakup proyek khsusus antikorupsi. Sebagian besar pemerintah Afrika menerapkan program tata kelola yang didanai  dengan donor yang mencakup berbagai kegiatan, termasuk anti-korupsi, demokratisasi, supremasi hukum, dan dukungan untuk masyarakat sipil, termasuk LSM namun belum menghasilkan hasil yang konkret sampai saat ini. Sebuah tinjauan dari Berg (1998) tentang berbagai reformasi sektor publik di Afrika menunjukkan hasil yang biasanya biasa-biasa saja. Secara formal, industri dana bantuan memperlakukan dana bantuan sebagai hal yang bersifat teknis. Solusi teknis untuk masalah kebijakan adalah dengan lebih banyak proyek. Sedangkan yang perlu diingat adalah terdapat rule of thumb jika prakarsa anti-korupsi yang didanai donor mulai mengancam elit yang ada dengan cara apapun, dana bantuan akan dibatalkan dan diabaikan.
  2. Kritik terhadap inisiatif penetapkan syarat antikorupsi kepada negara penerima bantuan. Konsep kondisionalitas dihadapkan dengan paradigma bantuan konsep kemitraan. Dalam hal ini, pemerintah bertanggung jawab untuk menerapkan reformasi kebijakan, tidak hanya sekedar melakukan apa yang dikatakan nagara pendonor kepada mereka. Semua donor utama melampirkan persyaratan (teoretis) untuk bantuan mereka, termasuk hak asasi manusia, gender, lingkungan, demokratisasi, liberalisasi, dan sebagainya. Meskipun memiliki nilai simbolis, persyaratan ini mengirim pesan kepada pemerintah Afrika bahwa semua hal baik datang dari luar negeri, termasuk model 'pengembangan', dan masyarakat harus mengubah cara masyarakat (yang pada dasarnya buruk) jika ingin dibantu berkembang. Para pemimpin Afrika menelan harga diri mereka, mengambil bantuan, dan kemudian beraktivitas seperti biasa.
  3. Kritik terhadap inisiatif pembersihan internal, termasuk meningkatkan supervisi terhadap staf dan menerapkan aturan yang tegas kepada para konsultan dan pejabat pengadaan. Pola pikir yang menyatakan bahwa penambahan hukuman harus dilakukan untuk mengatasi masalah korupsi, ternyata memiliki efek yang sebaliknya. Dalam banyak kasus, praktik antikorupsi telah menyebabkan ketidakpercayaan, moralitas rendah di antara staf, kemungkinan bentuk korupsi lainnya berkembang, kemunduran kinerja dan kecepatan kerja, dan mekanisme penghindaran.

Kemudian penulis memberikan alternatif pilihan untuk melacak kosrupsi di lembaga pemberi bantuan, antara lain:

Tindakan preventif:

  1. Menemumakan kepemimpinan moral di dalam lembaga pemberi donor.
  2. Mempelajari  angka indeks korupsi.
  3. Menghubungkan keringanan hutang dengan perbaikan transparansi dan pengelolaan bantuan, tidak hanya untuk meningkatkan kebijakan yang berfokus pada kemiskinan di antara negara-negara yang mencari bantuan .

Tindakan punitif:

  1. Pembentukan komite tetap untuk memantau korupsi dalam dana bantuan
  2. Menindaklanjuti kasus korupsi ke proses hukum internasional dengan sanksi yang sesuai

Sedangkan alternatif pilihan untuk melacak kosrupsi di lembaga penerima bantuan, antara lain:

Tindakan preventif:

  1. Semua proyek bantuan di atas nilai tertentu, dan semua program harus menjadi topik diskusi publik, termasuk tinjauan luas oleh parlemen, komunitas bisnis dan organisasi masyarakat sipil.
  2. Reviu sektor publik untuk memasukkan pengungkapan penerimaan bantuan dan alasan untuk pilihan investasi publik.
  3. Publikasi secara teratur rincian proyek-proyek yang didanai donor dan akses publik terhadap data bantuan dan hutang.
  4. Integritas dan survei pemberian layanan.

Tindakan punitif:

  1. Komite parlemen diberdayakan untuk meninjau kinerja bantuan dengan wewenang untuk menanyai pejabat senior pada proyek dan program yang didanai bantuan. 
  2. Auditor atau konsultan resmi tidak mempublikasikan nilai uang untuk audit dana dari proyek yang didanai pinjaman 
  3. Penilaian sistematis mengenai dampak lingkungan, kemiskinan dan ekonomi dari program bantuan dan proyek di semua sektor

Kesimpulan yang penulis dapatkan dari penelitian ini adalah:

  1. Isu korupsi penggunaan dana bantuan ini harus menjadi perhatian bagi lembaga-lembaga antikorupsi internasional
  2. Korupsi adalah sebuah faktor risiko pemberian bantuan. Miliaran dollar pinjaman perbaikan struktural secara sistematis digelapkan yang dilakukan oleh kepala negara dan kroni-kroninya.
  3. Mekanisme untuk mengidentifikasi dan menangani masalah korupsi dalam relasi penerima bantuan tidak sulit untuk diidentifikasi. Prasyarat utama untuk menangani korupsi dana bantuan adalah mendefinisikan masalah dengan benar. 
  4. Industri dana  bantuan yang dipimpin oleh Bank Dunia, cenderung mendefinisikan korupsi di Afrika sebagai isu lokal yang dapat diatasi dengan beragam inisiatif yang bersifat teknis seperti reformasi peradilan, jurnalisme investigatif, “pulau integritas”, dan mendukung program antikorupsi. Korupsi juga diasumsikan sebagai motif yang bersifat individual yang dapat diatasi dengan mengubah struktur insentif, termasuk upah, akuntabilitas, dan kompetis.
  5. Lain halnya jika korupsi dipandang sebagai fenomena politik yang sistemik. Lembaga pemberi bantuan mengetahui pihak-pihak lokal yang antikorupsi karena sikap antikorupsi yang hanya secara formalitas saja tidaklah cukup.
  6. Dana bantuan adalah alat bagi pihak eksternal untuk mendorong proses demokratisasi, tata kelola dan inisiatif antikorupsi. Namun, beberapa pengamat juga melihat bahwa bantuan adalah penyebab utama masalah korupsi dan tata kelola yang harus ditangani. Para pendonor cenderung menutup mata terhadap penyalahgunaan bantuan mereka, dan bahkan beberapa pihak pemberi bantuan dan pejabatnya terlibat aktif dalam praktik korupsi.
  7. Utang luar negeri Afrika yang merugikan akan dibatalkan. Selanjutnya, negara harus menemukan cara untuk memperoleh keyakinan bahwa penerimaan dana bantuan di masa depan tidak akan menghasilkan hasil kerugian yang sama lagi.

Pembahasan penulis mengenai dana bantuan dalam kaitannya dengan pembarantasan korupsi ini sebenarnya berkaitan erat dangan pembahasan isu kesempatan (opportunity) yang mendukung terjadinya korupsi. Pengelolaan dana bantuan yang tidak disertai dengan upaya pengendalian internal yang baik akan menjadi lahan bagi para pelaku korupsi untuk melancarkan tindakannya.

Referensi:

  1. Albrecht, W. Steve, Chad O. Albrecht, Conan C. Albrecht, Mark F. Zimbelman. 2012. Fraud Examination, Shouth-Western: Cengage Learning.
  2. Cooksey, Brian, 1999, Do Aid Agencies have a Comparative Advantage in Fighting Corruption in Africa?, Durban: Tanzania Research Development Group.
  3. Tuanakotta, Theodorus M., 2017, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat.



No comments:

Post a Comment

ruang diskusi:

Post Top Ad