Soal Jawab Kasus Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi - Kelas Ekonomika

Post Top Ad

Friday, March 30, 2018

Soal Jawab Kasus Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi


1. [Financial Statement Fraud] Anda diminta melakukan analisis mengenai kasus Olympus dengan memperhatikan bagaimana dan mengapa kasus ini terjadi. Jelaskan juga apakah auditor gagal menjalankan peran yang seharusnya dalam mendeteksi fraud!

Olympus didirikan pada tanggal 12 Oktober 1919 oleh Takeshi Yamashita dengan spesialisasi produksi termometer dan mikroskop. Kemudian, sekarang Olympus dikenal sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi kamera dan alat kesehatan. Pada tahun 1980, Olympus dipimpin oleh Toshiro Shimoyama sebagai presiden dan CEO yang menetapkan kebijakan untuk melakukan investasi yang agresif dibawah Departemen Akuntansi yang dipimpin oleh Hideo Yamada yang dibantu oleh Hisashi Mori. Kemudian pada tahun 2007, Olympus menunjuk seorang berkewarganegaraan Inggris, Michael C. Woodford, sebagai CEO. Keempatt orang ini, Shimoyama, Yamada,  Mori dan Woodford  adalah orang-orang yang terkait dengan skandal Olympus yang akan dibahas pada pembahasan di bawah ini. 

Kasus Apa yang telah terjadi?

Kasus yang terjadi pada perushaan Olympus adalah kasus Financial Statement Fraud. Telah terbukti bahwa manajemen Olympus membuat laporan keuangan yang berisi informasi yang tidak mencerminkan kondisi keuangan sesungguhnya. Olympus berusaha menutupi kerugian investasi yang dilakukannya sedemikian rupa sehingga laporan keuangan tidak menampilkan informasi kerugian tersebut.

Mengapa dan Bagaimana kasus Olympus terjadi?

Kasus Olympus dilatarbelakangi oleh kejadian inflasi harga saham yang melanda dunia hingga pada tahun 1985 Shimoyama bersama dengan Yamada dan Mori menerapkan strategi investasi spekulatif untuk mengatasi masalah inflasi harga saham tersebut. Namun ketika inflasi harga saham telah berhenti, Olympus mengalami kerugian sebesar US $730 juta. Untuk menutupi kerugian dari kegagalan investasinya tersebut, Olympus melakukan manuver akuntansi. Alih-alih mencatatkan sebagai kerugian investasi, Olympus melakukan pencatatan kerugian tersebut sebagai biaya-biaya lain yang terlihat wajar dalam kegiatan operasional perusahaan. 



Tidak sampai di sini, Olympus terus melakukan kegiatan investasi berisiko tinggi diperusahaan sekuritas selama kurang lebih 20 tahun. Puncaknya, pada tahun 2008, Olympus melakukan akuisisi terhadap produsen peralatan medis asal Inggris, Gyrus, dengan nilai US $2,2 miliar atau setara dengan Rp18,7 triliun. Transaksi tidak wajar ini terdiri dari biaya-biaya yang tidak wajar pula seperti biaya konsultan yang mencapai Rp5,83 triliun dan pembayaran kepada tiga perusahaan investasi sebesar Rp6,57 tiriliun.

Woodford yang pada saat itu menjabat sebagai CEO mulai mempertanyakan kejanggalan yang terjadi pada perusahaan. Kecurigaan ini malah menyebabkan Woodford di pecat dari Olympus. Tidak hanya Woodford, auditor independen Olympus, KPMG, juga tidak menyetujui kebijakan pencatatan akuntansi atas aktivitas M&A yang dilakukan oleh Yamada dan Mori tersebut. Hingga pada akhirnya, guna tetap menjaga kelancaran rencana Yamada dan Mori, KPMG digantikan oleh Ernst & Young (EY). Entah bagaimana caranya, Yamada dan Mori berhasil meyakinkan EY untuk menyetujui pencatatan goodwill dari akuisisi Gyrus sebesar US $177 juta.

Woodford tidak diam begitu saja. Dia menjadi seorang whistleblower atas skandal Olympus. Kasus ini mulai terkuak pada saat FACTA, sebuah majalah keuangan di Jepang, pada tanggal 15 Juli 2011 memuat suatu artikel yang juga mempertanyakan kejanggalan aktivitas merger and acquisition (M&A) yang dilakukan oleh Olympus terhadap Gyrus. Hingga pada akhirnya Olympus membentuk tim investigasi. Hasilnya, pada bulan Februari 2012, sebanyak enam orang yaitu Tyushi Kikuwa (mantan chairman Olympus), Mori, Yamada, dan tiga orang konsultan ditetapkan sebagai terdakwa dengan hukuman 10 tahun penjara atau denda sebesar US $125.000. Selain itu, perusahaan Olympus juga dijatuhi hukuman denda sebesar US $1.2 juta atas pemalsuan laporan keuangan.

Apakah auditor gagal menjalankan peran yang seharusnya dalam mendeteksi fraud?

Seperti perusahaan lainnya, terdapat dua macam auditor di Olympus: auditor internal dan auditor eksternal. Auditor internal bertanggung jawab untuk mengawasi dan memberikan jaminan bahwa pihak eksekutif perusahaan seperti manajemen keuangan, mananjemen risiko, dan tingkatan manajemen eksekutif lainnya serta tata kelola perusahaan dan proses pengendalian internal telah berjalan dengan sebagaimana mestinya. Seorang auditor internal juga memiliki tanggung jawab untuk dapat mendeteksi terjadinya fraud di dalam perusahaan. Auditor internal juga berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap semua lini di dalam perusahaan dan hasil pemeriksaannya dapat dijadikan bahan untuk melakukan reviu dan perbaikan kinerja perusahaan.

Sedikit berbeda dengan auditor internal, auditor eksternal bersifat lebih independen terhadap perusahaan sehingga sering disebut sebagai auditor independen.   Tanggung jawab auditor independen adalah untuk merencanakan dan melakukan audit untuk mendapatkan keyakinan yang memadai untuk menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan telah bebas dari salah saji yang material baik yang disebabkan oleh fraud maupun error. Sampai dengan tahun 2009, KPMG ditunjuk sebagai auditor eksternal perusahaan sebelum digantikan oleh EY.


Dalam kasus Olympus ini, auditor internal bukan hanya gagal dalam mendeteksi fraud, mereka malah terlibat secara sengaja dalam menutupi tindakan kecurangan laporan keuangan yang dilakukan oleh top manajemen. Hideo Yamada, salah satu auditing officer, terlibat aktif dalam menyembunyikan praktek investasi abal-abal yang dilakukan oleh perusahaan.
Lain halnya dengan auditor eksternal. Tim investigsi kasus Olympus menyatakan KPMG dan EY tidak bersalah atas kasus Olympus sebagaimana pemberitaan Reuters pada tanggal 16 Januari 2012 sebagai berikut:

“TOKYO (Reuters) — An unofficial panel of experts cleared the global accounting groups KPMG and Ernst & Young of any responsibility for a $1.7 billion accounting fraud at the Olympus Corporation on Tuesday, though the role of the firms remained under official review.
The scandal, one of corporate Japan’s worst, had raised questions over the role of the two audit firms, which signed off on company accounts before the 13-year fraud finally surfaced in October.
But the panel of lawyers set up by Olympus to look at the role of auditors said in a report on Tuesday that internal auditors were to blame, saying five of them, former and current, were responsible for 8.4 billion yen ($109 million) in damages.”

Walaupun sebelum tahun 2009 KPMG tidak pernah mendeteksi adanya kecurangan yang dilakukan oleh Olympus, namun KPMG dapat mengetahui praktek yang salah dalam pencatatan M&A Olympus atas Gyrus. KPMG diberhentikan dari kontrak sebagai auditor eksternal Olympus dan digantikan oleh EY. Namun, belum berakhir masa kontraknya dengan Olympus, EY juga akhirnya mengundurkan diri sebagai auditor eksternal setelah mengetahui adanya kecurangan yang dilaporkan oleh Woodford.

Perlu diketahui bahwa tugas auditor eksternal terbatas pada tujuan dan ruang lingkup audit yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Artinya, ruang lingkup audit auditor eksternal juga terbatas pada informasi yang disediakan oleh perusahaan. Apabila pihak manajemen sedemikian rupa sehingga mampu mengelabuhi dan menutupi informasi yang secara signifikan berkaitan erat dengan kasus fraud dan radar auditor eksternal tidak mampu mendeteksi kecurangan tersebut, maka auditor eksternal tidak dapat dianggap gagal atau telah melakukan kesalahan audit jika perencanaan dan prosedur audit yang dilakukan oleh auditor eksternal telah sesuai dengan standar audit.


Referensi:
  • Admin pcoabus.org. 1972. Responsibilities and Functions of the Independent Auditor. (Online). https://pcaobus.org/Standards/Auditing/Pages/AU110.aspx. Diakses pada tanggal 14 September 2017.
  • Elam, Dennis; Madrigal Marion; Jackson, Maura. 2014. Olympus Imaging Fraud Scandal: A Case Study. Texas: American Journal of Buiness Education.
  • Frendy; Dan, HU. Japanese Stock Market Reaction to the Announcements of News Affecting Auditors’ Reputation: The Case of Olympus Fraud. Nagoya University.
  • Redaksi Detik Finance. 2011. Skandal Penipuan Korporasi Terbesar Jeang Oleh Olympus. (Online). https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/1763010/skandal-penipuan-korporasi-terbesar-jepang-oleh-olympus. Diakses tanggal 14 September 2017.
  • Redaksi Reuters. 2012. Panel Clears Accounting Firms in Olympus Fraud. (Online).http://www.nytimes.com/2012/01/17/business/olympus-panel-clears-kpmg-and-ernst-young-in-fraud.html. Diakses tanggal 14 September 2017.
  • User Slideshare. 2013. The Olympus Scandal. (Online). https://www.slideshare.net/king1485/the-olympus-scandal-27514310. Diakses tanggal 14 September 2017.

2. [Kecurangan Akademik] Lakukanlah wawancara sederhana pada beberapa rekan anda perihal pengalaman berbuat kecurangan akademik. Tanyakanlah pada mereka mengenai apa, bagaimana, dan mengapa melakukan kecurangan akademik. Analisislah dengan menggunakan salah satu teori kejahatan (anda bebas memilih teori mana saja). Anda didorong untuk menjamin kerahasiaan dari responden serta gunakan potongan transkrip untuk mendukung argumen anda.

Untuk menjawab soal ini, saya telah melakukan wawancara terhadap delapan orang responden. Adapun tabel hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut:


No.
Responden
Pernahkah melakukan kecurangan akademik?
Apa bentuk kecurangan tersebut?
Bagaimana cara melakukan kecurangan?
Mengapa melakukan kecurangan?
1
Responden 1
Pernah
Meminta jawaban ujian kepada teman.
Bertanya langsung secara lisan pada saat ujian.
Mencocokkan jawaban karena tidak percaya diri dengan jawaban diri sendiri.
2
Responden 2
Pernah
Mencontek jawaban ujian teman sebangku
Langsung melihat dan bertanya jawaban ujian kepada teman sebangku
Kurang memahami materi pelajaran sehingga tidak siap untuk mengikuti ujian
3
Responden 3
Pernah
Mencontek saat ujian
Menaruh buku contekan di kolong meja
Rasa ingin tahu bagaimana rasanya mencontek. Semacam menantang adrenalin.
4
Responden 4
Pernah
Memberi contekan jawaban ujian kepada teman
Via Bluetooth
Rasa kasihan kepada teman karena teman butuh bantuan
5
Responden 5
Pernah
Mencotek catetan saat ujian
Ditulis di kertas kecil
Belum siap menghadapi ujian karena waktu belajar kurang
6
Responden 6
Pernah
Mencontek jawaban ujian teman
Meminta jawaban ujian teman dengan cara ditulis pada sobekan kertas kecil atau dengan menggunakan kode jari. Selain itu juga dengan cara melirik lembar jawaban ujian teman
Terpaksa, tidak bisa menjawab ujian dan waktu ujian telah hampir habis
7
Responden 7
Pernah
Mencontek saat ujian
Menulis catataan di kertas kecil kemudian dilipat, dimasukkan kedalam saku, kemudian dibuka saat ujian
Ingin mendapatkan nilai yang bagus
8
Responden 8
Pernah
Mencontek, Copy paste tugas artikel
Melihat jawaban ujian teman, copy paste artikel dari internet untuk dijadikan bahan tugas menulis artikel
Mencontek saat ujian untuk mendapatkan IP yang bagus demi memenuhi standar kelulusan. Copy paste artikel karena tidak memiliki ide yang lain, buntu.

Dari ketujuh responden yang barhasil saya wawancarai, semuanya mengaku pernah melakukan tindakan kecurangan akademik baik mencontek saat ujian atau memberikan jawaban ujian kepada teman. Metode yang dilakukan dalam melakukan tindakan kecurangan akademik tersebut pun bermacam-macam, mulai dari cara konvensional dengan cara bertanya langsung, melihat langsung, membuat catatan di kertas kecil, hingga cara modern dengan copy paste karya tulis orang lain dan mencontek dengan memanfaatkan fitur bluetooth pada ponsel pintar. Dari semua pengakuan responden, dapat disimpulkan bahwa para responden melakukan tindakan kecurangan karena ingin medapatkan hasil penilaian yang baik pada ujian mereka. Hal ini sesuai dengan teori yang dirumuskan oleh Sigmun Freud (1956) yang menyatakan bahwa setiap tingkah laku manusia mempunyai tujuan dan makna bagi orang tersebut. Di sini terlihat bahwa hasil ujian merupakan hal yang penting dan bermakna bagi para responden sehingga mereka melakukan segala upaya untuk mendapatkan hasil yang baik saat ujian.


Berikut adalah kutipan transkrip wawancara yang saya lakukan terhadap responden 1:

Saya
:
Dalam masa sekolah pernahkah anda melakukan tindakan kecurangan?
Responden 1
:
Pasti pernah, bohong kalau enggak pernah.
Saya
:
Apa bentuk kecurangan tersebut?
Respoden 1:
:
Meminta jawaban ujian kepada teman
Saya
:
Bagaimana caranya?
Responden 1
:
Ya langsung aja bertanya kepada teman yang paling pinter di kelas waktu itu. Kebetulan pengawas ujian sering berjalan keluar dari kelas.
Saya
:
Mengapa anda melakukan kecurangan tersebut?
Responden 1
:
Saya kurang yakin dengan jawaban sendiri sehingga bertanya kepada teman untuk mendapatkan jawaban pembanding dan mendapatkan keyakinan untuk menjawab. Ya ujung-ujungnya untuk mendapatkan nilai yang bagus sih.

Responden 2, responden 5, dan responden 6 mengaku bahwa mereka tidak menguasai materi saat ujian. Tentu hal ini berkaitan dengan tingkat kecerdasan mereka dalam menerima pelajaran di kelas. Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Goddard (1914) bahwa faktor kecerdasan merupakan penyebab tingkah laku jahat. Berikut adalah kutipan transkrip wawancara yang saya lakukan terhadap responden 6 yang juga mewakili jawaban responden 2 dan 5:

Saya
:
Pernahkah anda melakukan tindakan kecurangan saat ujian di sekolah?
Responden 6
:
Iya, pernah. hehehe.
Saya
:
Apa bentuk kecurangan tersebut?
Respoden 6:
:
Mencontek saat ujian.
Saya
:
Bagaimana caranya?
Responden 6
:
Banyak macam. Meminta teman menulis jawaban yang saya minta di kertas kecil. Kadang juga cukup dengan kode jari untuk soal pilihan ganda, atau juga dengan cara melirik langsung jawaban teman. Karena memang waktu itu pengawasan ujiannya juga tidak terlalu ketat.
Saya
:
Mengapa anda melakukan kecurangan tersebut?
Responden 6
:
Terpaksa, tidak bisa menjawab ujian dan waktu ujian telah hampir habis.

Responden 4 dan 8 terlihat lebih memanfaatkan kemajuan teknologi dalam melakukan tindakan kecurangan akedemiknya. Responden 4 menggunakan fasilitas bluetooth untuk memberikan jawaban kepada temannya yang sedang ujian. Responden 8 menggunakan kemudahan teknologi copy paste untuk menyelesaikan tugas karya tulisnya. Dalam teori Technological Determinism yang disampikan oleh Torsten Veblen (1920) menyatakan bahwa teknologi adalah agen perubahan sosial. Dengan adanya teknologi, pekerjaan manusia untuk mencapai suatu tujuan menjadi lebih muda dan batas-batas dalam menjalin komunikasi antar manusia menjadi tidak lagi bernilai signifikan. Tentu teori ini juga berlaku dalam kasus kecurangan saat mengikuti ujian tersebut di atas. 

Dari hasil wawancara tersebut juga dapat diketahui bahwa para responden memenuhi unsur fraud triangle dalam melancarkan aksi kecuragannya. Teori fraud triangle dikenalkan oleh Donald Cressey. Cressey menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan, yaitu: pressure, opportunity, dan rationalization. Faktor pressure dapat berupa tekanan keuangan, tekanan untuk mencapai tujuan tertenu, atau tekanan emosional. Faktor opportunity merupakan kesempatan untuk melancarkan aksi kecurangannya tanpa diketahui oleh pihak pengawas. Faktor rationalization adalah justifikasi pribadi sesorang tentang baik dan buruknya suatu tindakan kecurangan. Hampir semua responden kecuali responden 4 melakukan kecurangan karena adanya pressure untuk mendapatkan nilai ujian yang bagus. Responden 1 dan responden 6 secara eksplisit menyebutkan bahwa mereka nekat melakukan kecurangan karena pengawas ujian tidak begitu ketat dalam melakukan pengawasan. Ini menunjukkan terdapatnya faktor opportunity yang mendukung seseorang untuk melakukan kecurangan saat ujian. Sedangkan unsur rationalization jelas terlihat pada pengakuan responden 4. Ia beranggapan bahwa memberikan jawaban ujian adalah jenis perbuatan membantu teman yang perlu dikasihani karena ketidakmampuannya dalam mengerjakan soal ujian.

Layaknya bentuk kecurangan lainnya, kecurangan akademik juga dapat menimbulkan efek negatif dan oleh karena itu harus dicegah. Menurut Mulyawati, dkk. (2010), kecurangan akademik akan memunculkan dalam diri siswa perilaku atau watak yang tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, tidak berprestasi, tidak mau membaca buku pelajaran tapi siswa lebih rajin membuat catatan-catatan kecil untuk bahan menyontek. Maraknya budaya menyontek merupakan indikasi bahwa sudah tergantikannya budaya disiplin dalam lembaga pendidikan yang dampaknya tidak hanya akan merusak integritas dari pendidikan itu sendiri, namun bisa menyebabkan perilaku yang lebih serius seperti tindakan kriminal. Oleh karena itu tindakan kecurangan akademik harus dihentikan, misalnya dengan pemberian sanksi yang tegas.


Selain itu, upaya pencegahan tindakan kecurangan akademik juga dapat dilakukan dengan pendekatan moral kepada siswa didik. Pemberian pengertian tentang bahaya buruk mencontek bagi jiwa dan karakter mereka perlu dilakukan sedini mungkin. Penciptaan lingkungan yang menjunjung budaya integritas yang tinggi juga sangat perlu untuk dilakukan. Tentu, upaya ini membutuhkan sinergi dari berbagai macam pihak, baik guru, sekolah, maupun orang tua.

Referensi:
  • Albrecht, W. S., C.O. Albrecht, C.C. Albrecht, dan M.F. Zimberlman. 2012. Fraud Examination 4th edition. South-Western, Cengange Learning.
  • Atmasasmita, Romli. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Eresco, 2004
  • Margaretha. 2013. Mengapa Orang Melakukan Kejahatan? Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya: http://psikologi.unair.ac.id.
  • Mulyawati, H., Masturoh, I., Anwaruddin, I., Mulyati, L. Agustendi, S., & Tartila, T.S.S. (2010). Pembelajaran studi sosial. Bandung: Alfabeta.


3. [Consumer Fraud and Fraud in E-Commerce] Anda diminta untuk menganalisis bagaimana entitas bisnis online mencegah dan mendeteksi adanya fraud. Anda bisa mengambil satu contoh bisnis seperti bukalapak.com, bible.com, atau bahkan amazon.com.

Analisis Pencegahan dan Pendeteksian Fraud oleh Entitas Bisnis Online: Studi Kasus bukalapak.com

Bukalapak merupakan online marketplace atau situs belanja online yang dimiliki oleh PT. Bukalapak. Pengguna Bukalapak dapat berperan sebagai penjual ataupun pembeli setelah melakukan beberapa tahapan registrasi.

Bukalapak didirikan oleh Achmad Zaky pada awal tahun 2010 dan berstatus sebagai sebuah Perseroan Terbatas (PT) pada September 2011. Bukalapak dikelola oleh manajemen yang dipimpin oleh Achmad Zaky sebagai CEO (Chief Executive Office) dan Nugroho Herucahyono sebagai CTO (Chief Technology Officer). Pada bulan Maret 2014, Bukalapak mengumumkan investasi oleh Aucfan, IREP, 500 Startups, dan GREE Ventures. Kemudian pada tanggal 18 Maret 2014, Bukalapak mengeluarkan aplikasi berbasis Android. Aplikasi yang dikenal dengan mobile Bukalapak tersebut diciptakan khusus untuk para penjual untuk mempermudah penjual dalam mengakses lapak dagangannya dan melakukan transaksinya melalui smartphone. Sejak pertama kali diluncurkan sampai dengan saat ini, applikasi Bukalapak telah diunduh oleh lebih dari 10 juta kali.

Pencegahan dan Pendeteksian Fraud

Pada dasarnya, baik di bisnis offline maupun online, fraud memiliki karakteristik yang hampir sama. Teori fraud triangle dari Donald Cressey juga dapat digunakan untuk menganalisis fraud pada entitas bisnis online. Oleh karena itu, saya akan menganalisis pencegahan dan pendeteksian fraud oleh entitas bisnis online ini tidak jauh-jauh dari teori fraud triangle

Sebagai salah satu penyedia jasa situs jual beli online terbaik di Indonesia, Bukalapak telah melakukan beberapa tahapan sistem keamanan. Berikut adalah tahapan keaamanan yang dilakukan oleh Bukalapak:

1. Registrasi Akun Penjual dan Pembeli
Setiap penjual yang akan menggunakan Bukalapak sebagai toko online-nya, ia harus mendaftarkan diri dengan mengisi sejumlah informasi yang menunjukkan identitas penjual. Pendaftaran dilakukan dengan basis email yang aktif yang dimiliki oleh calon penjual. Kemudian Bukalapak akan melakukan sejumlah mekanisme verifikasi dasar untuk memastikan bahwa penjual adalah bukan penjual robot, melainkan manusia sesungguhnya.


2. Level Status Penjual 
Level status penjual yang ditetapkan oleh Bukalapak berdasarkan tingkat kinerja dan kepercayaan dari para pembeli merupakan sebuah sistem verifikasi lanjutan untuk memastikan kredibilitas penjual. Berikut adalah tingkatan status penjual di Bukalapak. 
Level badge menunjukkan tingkatan feedback positif dari pembeli. Semakin banyak feedback positif yang diperoleh pelapak, semakin tinggi level badge si pelapak. Mekanisme ini dapat dijadikan metode verifikasi penjual secara otomatis dan dapat dijadikan indikator oleh para pembeli untuk memilih penjual yang benar-benar dapat dipercaya.

3. Bukalapak Payment System
Untuk menjamin  keamanan dan kenyamanan para pengguna, setiap transaksi jual-beli di Bukalapak diwajibkan untuk menggunakan Bukalapak Payment System. Bualapak Payment System adalah metode transaksi dengan menggunakan rekening bersama. Penjual menerima dana pembayaran setelah pembeli terima barang sehingga jika penjual tidak mengirim barang, dana pembeli tetap aman dan dapat dikembalikan 100%. Dengan menggunakan sistem ini, keamanan transaksi antara penjual dan pembeli dapat terjamin keamanannya.

4. Sosialisasi Panduan Keamanan Kepada User Bulapak
Dengan adanya payment system saja, tidak menjamin keamanan transaksi di Bukalapaka akan terjaga. Dibutuhkan juga pemahaman akan kesadaran keamanan bertransaksi dari para pengguna. Oleh karena itu, Bukalapak gencar melakukan sosialisasi panduan keamanan, antara lain sebagai berikut:
  • Ketika ingin mengakses http://www.bukalapak.com, periksa boks alamat (address bar). Pastikan alamat yang Anda akses menggunakan domain bukalapak.com dan diawali dengan “https://” seperti https://www.bukalapak.com, https://m.bukalapak. com, https://panduan.bukalapak.com, dan https://komunitas.bukalapak.com. Jika situs yang Anda akses menyerupai halaman Bukalapak namun memiliki alamat berbeda, segera tutup halaman tersebut.
  • Anda diminta untuk bersikapwaspada terhadap tautan eksternal yang diberikan via pesan pribadi atau private message (PM). Untuk semua tautan yang berada di luar sistem https://www.bukalapak.com, sistem akan langsung mengarahkan ke halaman peringatan terlebih dulu. Dengan mengakses tautan di luar sistem https://www.bukalapak.com, Bukalapak tidak bisa menjamin keamanan transaksi Anda.
  • Sistem Bukalapak hanya meminta para pengguna untuk memasukkan nama akun dan kata sandi (username and password) ketika login, pencairan dana, perubahan data rekening, dan transaksi via BukaDompet. Selain keempat aktivitas tersebut, Anda bisa menggunakan segala fitur Bukalapak tanpa memerlukan usernamedan password.
  • Administrator Bukalapak tidak pernah meminta data pribadi, nama akun (username) beserta kata sandi (password) melalui surel (e-mail) ataupun pesan pribadi (PM/private message).
  • Seluruh surel (e-mail) resmi dari Bukalapak menggunakan domain “@bukalapak.com”, misalnya zaky@bukalapak.com. Jika ada akun lain yang mengatasnamakan pihak Bukalapak, namun menggunakan domain selain “@bukalapak.com”, misal admin@bukalapak1.com, mohon abaikan.
  • Seluruh info tentang acara atau promosi resmi dari Bukalapak akan dipublikasikan melalui media resmi Bukalapak, seperti blog, media sosial (akun resmi Facebook, Twitter, dan Google+), dan rilis pers. Jangan mudah tergiur dengan tawaran atau hadiah apa pun dari pihak lain yang mengatasnamakan Bukalapak. Apabila Anda tidak dapat menemukan informasi mengenai tawaran tersebut di media resmi Bukalapak, mohon abaikan.
  • Lakukan transaksi di Bukalapak.com hanya melalui Bukalapak payment system. Jika transaksi dilakukan di luar Bukalapak.com seperti mentransfer uang langsung ke pelapak, maka com tidak bertanggung jawab atas permasalahan transaksi yang terjadi.
  • Abaikan jika menerima telepon ancaman yang mengaku dari bea cukai, petugas bandara, perpajakan, kepolisian, bahkan yang mengatasnamakan Bukalapak dan meminta untuk mentransfer sejumlah uang. Bukalapak tidak pernah meminta biaya tambahan di luar tagihan yang tertera dalam transaksi.


Dengan sistem transaksi dan pengelolaan user yang telah diterapkan oleh Bukalapak sebagaimana tersebut pada uraian di atas, dapat diketahui bahwa Bukalapak telah menjalankan mekanisme pencegahan dan pendeteksian fraud dalam dunia bisnis online dengan baik. Namun perlu diingat bahwa pada ranah teknologi, perkembangan sistem keamanan begitu harus terus di-maintain setiap waktu mengingat kemajuan teknologi juga berkembang setiap waktu dengan sangat pesat. Celah opportunity pelaku fraud untuk merusak sistem keamanan jaringan harus segera ditutup begitu terjadi ancaman perkembangan teknologi.


Referensi:
  • Admin Bukalapak. 2017. Aturan Penggunaan Bukalapak. (Online). https://www.bukalapak.com/terms. Diakses pada tanggal 14 September 2017.
  • Herucahyono, Nugroho. 2013. Jaminan Aman Berkat Payment System. (Online) https://blog.bukalapak.com/2013/05/mengapa-belanja-di-bukalapak-com-aman/. Diakses pada tanggal 14 September 2017.
  • User Wikipedia. 2017. Bukalapak. (Online). https://id.wikipedia.org/wiki/Bukalapak. Diakses pada tanggal 14 September 2017.



4. [Corruption and Money Laundering] Pada pertanyaan ini anda diminta melakukan analisis perkembangan pemberantasan korupsi. Pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini? Anda dapat menggunakan database publik mengenai korupsi seperti web http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id untuk mendapatkan gambaran tren korupsi.

Bagaimana Keberhasilan Pemberantasan Korupsi di Indonesia Saat Ini?
Berbicara tentang keberhasilan dalam menanggulangi masalah korupsi, maka diperlukan suatu ukuran kuantitatif untuk memudahkan dalam melakukan analisis perkembangannya. Sejak tahun 1995, lembaga survei internasional yang memiliki fokus terhadap aktivitas pemberantasan korupsi, Transparency International, telah merumuskan suatu angka indeks untuk menilai tingkat korupsi di suatu negara. Indeks tersebut bernama Indeks Persepsi Korupsi (IPK). 

Seperti telah diberitakan oleh kompas.com pada tanggal 25 Januari 2017, Transparency International Indonesia menerbitkan skor IPK Indonesia pada 2016 yakni 37 dari rentang 0-100. Pada 2015, skor IPK Indonesia ada di angka 36. Sementara skor 2014 adalah 34. Dengan skor sebesar 37 poin, Indonesia menempati urutan ke-90 dari 176 negara. Berdasarkan kenaikan skor IPK ini dapat diketahui bahwa persepsi korupsi di Indonesia mengalami perkembangan yang positif. Namun, kenaikan skor IPK Indonesia belum mampu mengungguli negara tetangga seperti Malaysia (49 poin), Brunei (58 poin) dan Singapura (85 poin). Indonesia hanya berada di atas Thailand (35 poin), Filipina (35 poin), Vietnam (33 poin), Myanmar (28 poin), dan Kamboja (21 poin).

Keberhasilan dalam upaya pemberantasan korupsi juga dapat dilihat dari banyak kasus korupsi yang berhasil diugkap oleh lembaga pemberantas korupsi, dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan korupsi (KPK). Berdasarkan data yang diperoleh dari cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id, jumlah kasus korupsi yang berhasi diungkap dan pelakunya berhasil ditangkap mengalami peningkatan. Berikut adalah grafik pengungkapan kasus korupsi di Indoensia dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2015.


Sumber: cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id



Dari tahun 2009 ke tahun 2012 terdapat kenaikan jumlah kasus korupsi yang berhasil diungkap yaitu banyak 740 kasus dengan 1000 terdakwa. Dari tahun 2012 ke tahun 2013 terdapat 229 kasus korupsi dan 311 terdakwa. Sedangkan dari tahun 2013 ke tahun 2015 terdapat 603 kasus dan 967 terdakwa. Tentu kenaikan jumlah kasus korupsi yang berhasi diungkap dan terdakwa yang berhasil ditangkap tidak semata-mata langsung dapat disimpulkan bahwa pemberantasan kosupsi di Indonesia mengalami keberhasilan. Perlu diketahui bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi pada suatu negara tidak semata-mata tercermin dari jumlah kasus korupsi yang terungkap dan jumlah terdakwa yang tertangkap saja. Pemberntasan korupsi juga harus mengandung unsur pencegahan. Apabila upaya pencegahan berjalan efektif, maka seharusnya jumlah kasus korupsi yang terjadi pada suatu negara dapat berkurang signifikan.

Sebagaimana dikatakan oleh Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia dalam pemberitaan di situs resminya bahwa peningkatan lima poin IPK dalam rentang waktu lima tahun dinilai terlalu lambat untuk mencapai target 50 pada akhir 2016. Peningkatan skor IPK lambat karena pemberantasan korupsi selama ini hanya fokus pada sektor birokrasi saja. Reformasi birokrasi memang berkontribusi terhadap perbaikan integritas layanan publik dan menyumbang kenaikan skor IPK rata-rata 1 poin setiap tahun. Menurut Dadang, strategi pemberantasan korupsi nasional masih belum memberikan porsi besar terhadap korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis. Oleh kerana itu, KPK juga harus menyasar sektor politik, hukum, dan bisnis dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Maka dari itu, guna mencapai upaya pembarantasan korupsi yang optipmal, diperlukan peran serta dari seluruh elemen bangsa Indonesia.

Karena risiko korupsi dapat datang melalui dua arah, dari sektor publik ataupun dari sektor swasta, Transparency International Indonesia (TII) menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
  • Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tetap fokus dan perkuat  reformasi penegakan hukum dan peningkatan integritas sektor publik.
  • Tim Saber Pungli harus bergerak lebih agresif dan masif untuk memerkuat momentum pemberantasan korupsi dan mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas lagi.
  • Optimisme publik yang telah mulai terbangun agar dipertahankan dan terus ditingkatkan dengan meningkatkan penindakan kasus-kasus korupsi secara adil.
  • Segera menerbitkan perangkat hukum yang memastikan swasta mengembangkan dan menerapkan sistem integritas bisnis. 
  • Perlunya pembenahan sektor publik dalam hal pengadaan barang dan jasa, termasuk misalnya pengadaan alutsista di Kementerian Pertahanan/ TNI.
  • fPemerintah dan Pemerintah daerah harus bersinergi dalam melawan “desentralisasi korupsi”
  • Menjadikan KPK sebagai  focal point untuk mendorong program antikorupsi sektor swasta
  • Lembaga-lembaga penegak hukum perlu segera mendayagunakan Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi sebagai instrumen hukum untuk meningkatkan risiko korupsi bagi kalangan swasta.
  • Mengembangkan aturan internal dan budaya antikorupsi yang memastikan perusahaan swasta menerapkan sistem integritas bisnis untuk mengurangi risiko korupsi.
  • Mengembangkan sistem pelaporan program antikorupsi secara lebih komprehensif dan menggunakannya sebagai kriteria penentu untuk investasi.
  • Mendorong terbitnya standar audit untuk menilai program antikorupsi dan meningkatkan kualitas penilaian risiko korupsi.
  • Mendorong perusahaan untuk transparan terhadap program kepatuhan terhadap UU Antikorupsi.
  • Melakukan pengawasan independen untuk mendorong praktik bisnis berintegritas dan pengawasan peradilan Tipikor sektor swasta.
  • Mendorong penguatan legislasi untuk mendorong integritas sektor swasta, contohnya mengawasi proses revisi UU Tipikor.
  • Melakukan monitoring dan analisis program antikorupsi untuk menguatkan kepatuhan terhadap UU Antikorupsi Nasional dan Global.
  • Mendorong standar pelaporan country by country untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik.
  • Memanfaatkan inisiatif-inisiatif seperti Lapor! dan Saber Pungli untuk masyarakat berpartisipasi dan terlibat dalam upaya pencegahan dan  pemberantasan korupsi.

Karena hasil akhir dari upaya pemberantasan korupsi adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera, maka sebaiknya outcome berupa kesejahteraan masyarakat Indonesia juga dijadikan sebagai indikator dari penilaian keberhasilan pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, apabila pemberantasan korupsi di Indonesia berhasil, harapan selanjutnya adalah terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akhirnya, sebagai pemilik negeri ini, mari bersama-sama berdoa dan berusaha untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar bersih dari kasus korupsi, bukan sekedar angka belaka. 

Referensi:
  • Masyarakat Praktisi. 2016. Laporan Database Korupsi Versi 4 (5 April 2016). (Online). 2016. http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/index.php/publikasi/52-database-korupsi-versi-4-5april-16. Diakses pada tanggal 14 September 2017.
  • Putra, Lutfy Mairizal. 2017. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik Satu Poin. (Online). http://nasional.kompas.com/read/2017/01/25/17242741/indeks.persepsi.korupsi.indonesia.naik.satu.poin. Diakses pada tanggal 14 September 2017.
  • Tioriana, Lia. 2017. Corruption Perceptions Index 2016: Terus Perkuat Integritas Sektor Publik, Dorong Integritas Bisnis Sektor Swasta.  (Online). http://www.ti.or.id/index.php/publication/2017/01/25/corruption-perceptions-index-2016. Diakses pada tanggal 14 September 2017. 


No comments:

Post a Comment

ruang diskusi:

Post Top Ad