Harga Perkiraan Sendiri

Dalam proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh satuan kerja pemerintah, baik pusat maupun daerah, kita mengenal istilah HPS yang merupakan kependekan dari Harga Perkiraan Sendiri. Sesuai namanya, HPS adalah harga perkiraan atas suatu barang/jasa yang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang dihitung secara keahlian dan menggunakan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun penetapan HPS adalah paling lama 28 hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi, atau sebelum pemasukan dokumen kualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.

Jadi, orang yang berwenang menetapkan HPS adalah PPK. Namun, pada kenyataannya PPK dapat meminta bantuan kepada staf dibawahnya, dalam hal ini, pejabat pengadaan lah yang ditunjuk untuk menyusun HPS. Tapi tidak lah mengapa, asal yang bertanggung jawab tetap lah PPK.

Yang perlu diketahui lagi, HPS telah mencakup perhitungan keuntungan dan biaya tidak langsung (overhead) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada kasus yang sering terjadi, perhitungan HPS kerap tidak memasukkan komponen PPN kedalam harga, sehingga akan mengakibatkan perkiraan harga yang terlalu rendah. 

Lalu mengapa harus ditetapkan HPS? HPS dapat berguna untuk:

1. sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran atau kewajaran harga satuan
2. sebagai dasar untuk menetapkan batas tertinggi  penawaran yang sah dalam pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya
3. sebagai dasar untuk menetapkan besaran nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah 80% dari nila HPS.

Walaupun demikian, HPS  tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menghitung besaran kerugian negara. Dan, untuk pengadaan dengan nilai paling banyak Rp10.000.000,00, e-purchasing dan tender pekerjaan terintegrasi tidak perlu menggunakan HPS.