Disclaimer: Artikel ini diambil dari LAPORAN PROFIL INDUSTRI PERBANKAN yang diterbitkan oleh OJK.
Perekonomian global semakin tertekan seiring dengan jumlah kasus COVID-19 yang masih bertambah. Hal ini berdampak pada terkontraksinya perekonomian baik secara global maupun di domestik akibat lemahnya permintaan dan kegiatan usaha. Pelemahan tersebut terefleksi pada lambatnya penyaluran kredit ditengah DPK yang tumbuh lebih tinggi. Meski demikian, ketahanan permodalan perbankan masih solid disertai kondisi likuiditas yang memadai meskipun terdapat penurunan rentabilitas.
Pada triwulan II-2020, perekonomian global mengalami kontraksi dengan dibarengi pertambahan jumlah kasus Coronavirus Desease (COVID-19) di banyak negara. Sampai dengan akhir triwulan II2020, pandemi COVID-19 sudah menyebar pada 213 negara dengan jumlah kasus per 30 Juni 2020 tercatat sebesar 10.426.070 kasus, jauh meningkat dibandingkan dengan posisi 5 April 2020 sebesar 1.273.712 kasus yang tersebar pada 208 negara. Sampai dengan saat ini, Amerika Serikat (AS) mencatatkan jumlah kasus tertinggi, diikuti Brazil, dan India.
Sebagai dampak dari peningkatan jumlah kasus COVID-19 tersebut, banyak negara memberlakukan kebijakan lockdown dan social distancing yang berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi secara global. Akibatnya, pertumbuhan sebagian besar negara terkontraksi dikarenakan lemahnya aktivitas perekonomian baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Hal tersebut tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur beberapa negara yang berada pada zona kontraksi disertai dengan pelemahan tingkat keyakinan konsumen. Pada pertengahan triwulan II-2020, banyak negara mulai melakukan relaksasi pembatasan ekonomi dan berdampak pada PMI Manufaktur yang mulai meningkat meskipun belum sepenuhnya pulih.
Pandemi COVID-19 yang terjadi mengakibatkan banyak negara mengalami resesi (secara konsensus resesi adalah pertumbuhan tahunan negatif selama dua triwulan berturut-turut). Sampai dengan triwulan II-2020, setidaknya terdapat 32 negara yang sudah mengalami resesi ekonomi dikarenakan pertumbuhan ekonominya yang terkontraksi pada triwulan I-2020 dan triwulan II-2020 (Tabel 1). Sebagai upaya pemulihan, berbagai negara mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal dan moneter untuk dapat mendorong konsumsi dan investasi vis-àvis produksi. Beberapa negara mengalokasikan stimulus fiskal untuk meredam dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian, antara lain melalui peningkatan anggaran kesehatan, peningkatan dan perluasan jaring pengaman sosial, relaksasi perpajakan, program subsidi bagi korporasi dan/atau UMKM, serta penyiapan anggaran program pemulihan ekonomi. Sebagai contoh, pada triwulan II-2020 Jepang telah mengeluarkan total stimulus fiskal hingga USD2,03 triliun, yaitu pada April 2020 sebesar USD1,1 triliun untuk anggaran medical spending, companies’ subsidies, students, dan emergency spending, serta pada Mei 2020 sebesar USD929 miliar untuk membantu perusahaan yang terkena dampak pandemi. Senat Republikan AS sepakat menambah stimulus fiskal sebesar USD1,04 miliar untuk dialokasikan pada unemployment insurance (UI) dan hiring bonus, subsidi langsung kepada individual, business assistance, state fiscal aid, liability protection, dan health spending.
Sebelumnya, AS juga melakukan perpanjangan periode aplikasi Paycheck Protection Program (PPP) hingga akhir Agustus 2020 untuk menyalurkan unclaimed fund sebesar USD150 miliar dari total USD650 miliar yang telah dialokasikan (13% dari PDB). Tiongkok mengeluarkan paket pemulihan ekonomi senilai ¥4 triliun dalam bentuk pembebasan pajak dan kontribusi, suku bunga rendah, hingga pemotongan tarif listrik. Indonesia mengeluarkan paket stimulus sebesar Rp695,2 triliun yang terangkum dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selain itu, banyak negara juga melakukan stimulus moneter dengan menurunkan dan/atau mempertahankan suku bunga kebijakan (policy rate) pada level rendah dan injeksi likuiditas atau Quantitative Easing (QE). QE dilakukan antara lain melalui pembelian obligasi pemerintah, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) atau reserve requirement, dan Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP). European Central Bank (ECB) hingga akhir triwulan II-2020 menambah PEPP menjadi €1,35 triliun dan memperpanjang program hingga Juni 2021. Bank of England (BoE) menambah pembelian obligasi sebesar £100 miliar menjadi £745 miliar dan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 0,1%. Sejak awal tahun 2020, The Fed dan Bank Sentral Kanada telah menurunkan policy rate sebesar 150 bps sehingga policy rate terjaga pada level yang cukup rendah masing-masing 0% dan 0,25%. Selama triwulan II-2020 Bank Indonesia (BI) juga telah menurunkan suku bunga BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 4,25%, selain itu juga menurunkan GWM Rupiah sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dan 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS) yang mulai berlaku pada 1 Mei 2020. Sehubungan dengan penurunan GWM Rupiah tersebut, Bank Indonesia menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk BUK dan sebesar 50 bps untuk BUS/UUS. Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang akan diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana. Seiring dengan turunnya pertumbuhan ekonomi negara-negara secara global, harga komoditas dunia juga menurun sejalan dengan permintaan yang masih lemah. Hal ini tercermin pada Indeks harga komoditas Bloomberg (BCOM) sebesar 309,37 pada Juni 2020 lebih rendah dari 342,75 pada Juni 2019. Meski demikian, harga Crude Palm Oil (CPO) menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun lalu dari USD462,24/ton menjadi USD558,41/ton pada akhir Juni 2020. Meningkatnya harga CPO dipengaruhi oleh naiknya permintaan dari Tiongkok seiring dengan ekonominya yang mulai tumbuh serta terbatasnya pasokan dari Malaysia. Selain itu, meskipun masih lemah, harga minyak dunia sejak Mei 2020 mulai menunjukkan peningkatan sebagai pengaruh meningkatnya permintaan ditengah OPEC+ yang masih melanjutkan pemotongan produksi untuk memulihkan harga minyak.
Sejalan dengan penurunan perekonomian secara global, ekonomi domestik pada triwulan II-2020 juga terkontraksi -5.32% (yoy), jauh menurun dibandingkan triwulan I-2020 yang tumbuh 2,97% (yoy). Penurunan turut dipengaruhi oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam mitigasi penyebaran COVID-19 yang membatasi mobilitas serta kegiatan usaha masyarakat sehingga berdampak pada penurunan permintaan (konsumsi), aktivitas produksi, serta investasi.
Kontraksi pertumbuhan pada triwulan II2020 dipengaruhi oleh kontraksi pada semua jenis pengeluaran, terutama konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar PDB. Konsumsi rumah tangga menurun -5,57% (yoy) dari 2,64% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Penurunan konsumsi terjadi pada hampir seluruh sektor yaitu makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel, sementara konsumsi pada bidang kesehatan dan pendidikan masih tumbuh. Penurunan konsumsi ini juga terefleksi pada Consumer Confidence Index (CCI) yang berada pada zona pesimis dari 113,8 pada Maret 2020 menjadi 83,8 pada Juni 2020. Pengeluaran pemerintah juga turun pada periode berjalan sebesar -6,90% (yoy) dari triwulan sebelumnya 3,75% (yoy) sebagai dampak belum terealisasinya penyerapan stimulus fiskal. Selama triwulan II-2020, pemerintah menambah stimulus fiskal dua kali yaitu paket III dalam bentuk peningkatan anggaran pemulihan menjadi Rp405,1 triliun dan kemudian pada Juni 2020, Pemerintah kembali menambah stimulus fiskal paket IV dengan total menjadi Rp695,2 triliun yang digunakan untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, serta dukungan terhadap industri (UMKM, pembiayaan korporasi, dan insentif usaha). Hal ini berdampak pada meningkatnya defisit APBN menjadi 6,34%. Rendahnya penyerapan realisasi anggaran antara lain dipengaruhi oleh ketidaksiapan regulasi, hambatan verifikasi dan administrasi, kurangnya sosialisasi, serta kendala infrastruktur. Investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terkontraksi -8,61% (yoy) jauh menurun dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 1,70% (yoy).
Turunnya investasi terjadi pada semua sub pengeluaran, baik investasi bangunan dan non-bangunan (mesin dan perlengkapan) sebagai dampak melemahnya kegiatan usaha. Penurunan pada investasi nonbangunan ini juga terefleksi pada turunnya impor barang modal dan bahan baku/penolong. Pelemahan ini juga tercermin pada PMI Manufaktur Indonesia yang masih berada di zona kontraksi menjadi 39,1 pada Juni 2020, atau bahkan lebih rendah dari posisi Maret 2020 sebesar 45,3 dan posisi Juni 2019 sebesar 50,6. Sebagai dampak turunnya permintaan secara global, perdagangan eksternal juga ikut tergerus pada triwulan II-2020 dengan kontribusi ekspor yang turun -11,66% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya sempat tumbuh 0,23% (yoy). Penurunan utamanya didorong oleh ekspor barang non-migas. Di sisi lain, impor juga turun lebih dalam sebesar -16,96% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya -2,19% (yoy). Penurunan impor terjadi baik pada impor migas dan non-migas yang memperkuat pelemahan aktivitas ekonomi domestik. Dengan penurunan impor yang melebihi penurunan ekspor tersebut, neraca perdagangan Indonesia selama triwulan II2020 tercatat surplus sebesar USD2,9 miliar meningkat dari surplus pada triwulan I-2020 sebesar USD2,6 miliar. Surplus tersebut ditopang oleh surplus non-migas sebesar USD3,4 miliar sementara neraca migas defisit USD495 juta.
No comments
ruang diskusi: