Dengan tidak menafikan definisi umum kemiskinan yang telah ditulis oleh para blogger, para penulis buku sosial ekonomi, dan para penyunting wikipedia bahwa kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan; mari lebih kritis melihat fenomena kemiskinan sebagai permasalahan yang komprehensif, tidak melulu dihubungkan dengan kekurangan materi semata. Pernah dengar kisah Sulaiman Abdul Aziz Al Rajhi, seorang miliarder Arab Saudi yang memilih untuk melepas semua harta kekayaanya dan memilih hidup miskin? Sulaiman Al-Rajhi merupakan pendiri bank Islam terbesar di dunia bernama Bank Al-Rajhi dan perusahaan terbesar di Arab Saudi. Majalah Forbes pernah menobatkan Sulaiman Al-Rajhi sebagai orang ke-120 terkaya di dunia. Kekayaannya sampai dengan tahun 2011, tercatat berjumlah US$ 7,7 miliar. Namun, pada akhirnya ia memberikan semua harta kekayaannya kepada anak-anaknya dan memilih hidup miskin. Ia merasa bahwa dengan tidak memiliki harta benda dunia, hidupnya akan jauh lebih tenang.
Barangkali, kisah seperti itu hanya memiliki
probabilitias kejadian satu berbanding seribu. Namun tidak mustahil juga jika jumlah
penduduk miskin yang tercatat di dalam survei sosial ekonomi nasional (susenas) mencakup jumlah
penduduk miskin yang miskin karena memang memilih untuk hidup sederhana apa
adanya dengan alasan agar tetap merasa tenang dan bahagia. Bayangkan saja
bagaimana kehidupan penduduk Suku Badui di Banten, Suku Anak Dalam di Jambi,
Suku Wae Rebo di Nusa Tenggara Timur, dan berbagai macam penduduk suku-suku di
pedalaman Indonesia lainnya yang jauh dari hedonisme kehidupan modern, terlihat
damai bukan? Pilihan untuk hidup sederhana apa adanya tersebut tentu berakibat
pada tidak adanya motivasi individu untuk berusaha lebih keras guna mendapatkan
dan mengumpulkan harta kekayaan atau bahkan memenuhi hasrat untuk hidup
berfoya-foya. Orang Jawa menyebutnya “narimo
ing pandum”. Apalagi, alat ukur survei untuk mengukur jumlah penduduk
miskin hanya sebatas melihat jumlah pengeluaran untuk konsumsi. Jelas, mereka
akan menjadi penyumbang angka jumlah penduduk miskin.
Teori ekonomi
saja tidak cukup
Perlu
treatment yang tidak biasa atau
bahkan tidak ilmiah untuk mengatasi masalah kemiskinan semacam ini. Oleh
sebagian orang kemiskinan dianggap sebagai masalah, sedangkan bagi mereka
kemiskinan bukanlah masalah. Teori ekonomi yang mana yang mampu menjawab
penyebab kemiskinan sebagaimana tersurat di atas?
Orang
yang memahami ilmu ekonomi tentu paham benar dengan jargon “memperoleh kepuasan
yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya”. Sementara itu,
definisi kepuasan bagi sebagian orang berbeda dengan definisi kepuasan bagi
sebagian yang lain. Lebih lanjut, kemiskinan tidak secara serta merta menjadi
syarat yang harus dihindari untuk mencapai kepuasan bagi sebagian orang. Ilmu
ekonomi hanya merupakan satu dari sekian banyak alat untuk menganalisa kepuasan
manusia. Oleh karena itu, ceteris paribus
selalu digunakan.
Kemiskinan di
Indonesia dalam angka
Badan
Pusat Statistik (BPS) membuat publikasi bahwa pada bulan Maret 2017, jumlah
penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah
garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen),
bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016
yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen). Persentase penduduk miskin di
daerah perkotaan pada September 2016 sebesar 7,73 persen, turun menjadi 7,72
persen pada Maret 2017. Sementara, persentase penduduk miskin di daerah
perdesaan pada September 2016 sebesar 13,96 persen, turun menjadi 13,93 persen
pada Maret 2017. Selama periode September 2016 s.d. Maret 2017, jumlah penduduk
miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 188,19 ribu orang (dari 10,49 juta
orang pada September 2016 menjadi 10,67 juta orang pada Maret 2017). Sementara,
di daerah perdesaan turun sebanyak 181,29 ribu orang (dari 17,28 juta orang
pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017).
Lebih jauh, BPS menyimpulkan bahwa peranan
komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan
peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
Sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan pada Maret 2017
tercatat sebesar 73,31 persen. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi
September 2016 yaitu sebesar 73,19 persen. Jenis komoditi makanan yang berpengaruh
besar terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan maupun di perdesaan adalah
beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula
pasir, kopi bubuk dan kopi instan (sachet), dan bawang merah. Sementara itu,
untuk komoditi bukan makanan yang besar pengaruhnya adalah biaya perumahan,
listrik, bensin, pendidikan, angkutan, kesehatan, dan perlengkapan mandi.
Untuk
mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis
kemiskinan.
Lebih
detil, konsep garis kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan
makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. GKM merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita
perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi
(padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan,
buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Sedangkan GKNM adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis
komoditi di pedesaan. Untuk mengetahui perhitungan lebih rinci mengenai konsep
penetapan angka kemiskinan, silahkan kunjungi website resmi BPS di www.bps.go.id.
Solusi kemiskinan
Bagi
pemerintah, tentu kemiskinan merupakan masalah yang harus ditangani. Bukti
empiris menunjukkan bahwa kemiskinan berkaitan dengan berbagai masalah sosial lainnya. Motif ekonomi kerap kali
menjadi alasan orang melakukan pencurian, perampokan, bahkan
pembunuhan. Bukan hanya itu, masalah kesehatan dan pendidikan yang bermuara
kepada kualitas sumber daya manusia juga dapat terdampak oleh faktor
kemiskinan.
Kembali
lagi, kemiskinan bisa saja menjadi bukan masalah bagi sebagian orang tertentu
yang tidak terlalu mementingkan materi di dalam tujuan hidupnya. Di sisi lain, data
statistik sebagaimana tersebut di atas yang dijadikan bahan pertimbangan untuk
menentukan definisi kemiskinan masih sarat dengan komponen kebutuhan material. Secara teori di atas kertas yang dituangkan
dalam bentuk kebijakan, akan terlihat mudah untuk mengatasi masalah kemiskinan
jenis ini, misalnya dengan meningkatkan transfer atau belanja ke daerah rawan
kemiskinan serta meningkatkan pembangunan infrastruktur di desa dan daerah
pedalaman lainnya maupun di lingkungan kumuh perkotaan.
Solusi
akan menjadi lebih rumit ketika kemiskinan memang dianggap sesuatu yang tidak
menjadi masalah bagi sebagian atau sekelompok orang. Secara diri pribadi,
mereka tidak ada keinginan untuk mengentaskan diri dari garis kemiskinan. Tidak
ada solusi yang perlu dilakukan apabila mereka secara individu maupun kelompok
sepakat bahwa kemiskinan bukan masalah bagi lingkungan internal maupun
lingkungan eksternal. Namun siapa yang menjamin?
Sebagai jalan tengahnya, mungkin bisa diawali dengan reformasi metode dan konsep penelitian dalam mengumpulkan data tentang kemiskinan. Penelitian yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan faktor-faktor non material sebagai faktor penentu angka kemiskinan dapat dilakukan untuk memperoleh data penduduk yang benar-benar miskin. Selanjutnya, kebijakan penanganan kemiskinan sebaiknya tidak melulu terpusat pada pembangunan materi semata tanpa menumbuhkan kesadaran tentang bahaya kemiskinan itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, tidak hanya pemerintah yang bekerja keras memikirkan solusi mengatasi kemiskinan tetapi juga tiap individu dapat menjadi lebih aware dan termotivasi untuk mengentaskan dirinya dari garis kemiskinan.
Sebagai jalan tengahnya, mungkin bisa diawali dengan reformasi metode dan konsep penelitian dalam mengumpulkan data tentang kemiskinan. Penelitian yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan faktor-faktor non material sebagai faktor penentu angka kemiskinan dapat dilakukan untuk memperoleh data penduduk yang benar-benar miskin. Selanjutnya, kebijakan penanganan kemiskinan sebaiknya tidak melulu terpusat pada pembangunan materi semata tanpa menumbuhkan kesadaran tentang bahaya kemiskinan itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, tidak hanya pemerintah yang bekerja keras memikirkan solusi mengatasi kemiskinan tetapi juga tiap individu dapat menjadi lebih aware dan termotivasi untuk mengentaskan dirinya dari garis kemiskinan.
No comments
ruang diskusi: