Menu
Kelas Ekonomika

Review Artikel: Cosmology and Corruption in South India – Thinking Aloud (Pamela Price)


Penulis mendapat ide penelitian bermula dari sebuah seminar tentang korupsi di Oslo yang diselenggarakan oleh Transparency International pada bulan Oktober 1999. Hasil dari seminar itu menunjukkan adanya dua aliran pemikiran dalam debat internasional, yaitu:
  1. Korupsi dalam pemerintahan dan bisnis dapat dikendalikan melalui teknik universal, 
  2. Korupsi perlu dianalisis dalam konteks historis dan budayanya dan, oleh karena itu, mungkin memerlukan pendekatan khusus kepada manajemen. 

Makalah ini sebagian besar membahas tentang kosmologi politik dari sudut pandang budaya hukum India yang bersifat pluralistik. Lembaga-lembaga negara modern berkembang selama lebih dari 150 tahun dengan konsolidasi politik di bawah Kerajaan Inggris. Oleh karena itu, India memiliki tanda keterikatan pada konsep gaya barat tentang peraturan hukum universal dan prosedur birokrasi. Namun, Institusi pemerintahan pusat dan negara pasca-kolonial belum secara resmi berladaskan model norma yang universal. Lembaga informal masyarakat lokal, di sisi lain, masih dipengaruhi oleh pluralism dari beragam segmentasi sosial.

Penulis berpendapat bahwa dalam membahas segmentasi politik dan sosial, dua masalah yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisis budaya politik India adalah sebagai berikut:
  1. Sifat pangkat dan status dalam masyarakat tanpa sejarah panjang pemusatan birokrasi regional.
  2. Berbagai jenis domain kekuasaan dan otoritas yang dapat muncul dalam masyarakat yang memiliki sejarah panjang proses politik yang terdesentralisasi.

Dalam mempertimbangkan isu-isu ini, penulis menawarkan sebuah model yang menyoroti perbedaan dalam keyakinan dan praktik politik dan administratif antara Eropa Barat dan India. Perbandingan singkat ini seharusnya menunjukkan ruang lingkup negosiasi dan manuver politisi di dunia politik India yang tidak stabil. 

Pangkat dalam negosiasi politik dan pertukaran di Eropa Barat dipengaruhi oleh nilai absolut yang dilekatkan pada posisi formal dan gelar dalam struktur birokrasi yang mengatur begitu banyak kebutuhan masyarakat. Di Eropa Barat, secara umum, pembagian bidang tanggung jawab dan perhatian terhadap proses hukum dalam pengelolaan suatu urusan mencirikan pemikiran birokrasi. Pemikiran seperti itu mempengaruhi persepsi ontologi pangkat dan status di partai politik dan pemerintahan di Eropa Barat. Peringkat dan status pada umumnya kurang dapat dinegosiasikan, lebih stabil dalam pengaruh dan kewenangan yang mereka maksudkan, daripada kasus di bidang politik dan pemerintahan di India. 

Di India, rasionalitas birokrasi sangat diperebutkan. Selain itu, area pengaruh dan tanggung jawab saling tumpang tindih. Di India, pangkat dan status cenderung bersifat pribadi dan relatif, bergantung pada konteks dan kontinjensi. Hubungan antara pangkat dan status politik bisa lebih cair dan lebih tidak stabil daripada di masyarakat dimana pemikiran birokrasi telah lama diterapkan. Sebagai konsekuensi dari hal ini, peringkat dan status yang ditetapkan secara relatif dan kontekstual lebih bersifat pribadi, baik dalam konstitusi maupun persepsi pelaku. Mereka lebih mencerminkan kontinjensi pribadi daripada peringkat dan status di pemerintahan yang lebih birokratis. Situasi seperti ini membuat hubungan yang sangat volatil dan tidak stabil dalam pertukaran politik, di mana terdapat emosi yang tinggi. Kehormatan lebih penting daripada pangkat formal dan lebih bergantung pada konteks, meski pangkat formal termasuk dalam peraturan kehormatan. Kehormatan adalah status yang terikat pada seseorang yang mencerminkan pengaruh informal dan kekuatannya sebagaimana jabatan formalnya. Konflik atas kehormatan adalah konflik yang melibatkan status yang dapat dinegosiasikan, tidak stabil, dan merupakan persaingan wewenang dan pengaruh.


Dalam penelitiannya, penulis memaparkan sejumlah pendapat peneliti alain dan fakta tentang kondisi sosial budaya di India yang diduga memainkan peran penting dalam munculnya permasalahan korupsi. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Diskusi tentang budaya dan korupsi biasanya berfokus pada pentingnya pemberian hadiah di masyarakat pasca-kolonial (Kjellberg, 1992: 216).
  2. Sejumlah besar literatur antropologi memberikan banyak bukti tentang norma tidak tertulis yang digunakan sebagai pedoman masyarakat India dalam menentukan pilihan-pilihan di dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Kehormatan dan peringkat status (kasta) adalah hal yang sangat penting dan kurang dapat dinegoisasian dalam proses politik.
  4. Praktik politik para politisi juga menunjukkan pengaruh pluralisme menyesuaikan dengan tuntutan negara. Seorang politisi tidak hanya memperhatikan kepentingan daerah asalnya, namun juga harus mempertimbangkan kepentingan para pendukungnya.
  5. Secara historis, penghargaan telah memainkan peran utama dalam pemerintahan India dalam strategi pencapaian kasta yang tinggi.
  6. Nilai-nilai kepercayaan dan keyakinan masyarkat India yang kental dengan nuansa kosmologi memiliki peran penting dalam membentuk perilaku dalam politik.

Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa kegiatan administratif dan politik terdiri dari berbagai macam kegiatan pengelolaan konflik yang terus-menerus memakan banyak waktu. Di partai politik khususnya, mekanisme pembagian “uang” yang strategis memainkan peran penting dalam upaya integrasi dan koherensi partai politik. Usaha mengatasi masalah korupsi dalam konteks sistem relasi dan nilai mengarah pada kesimpulan bahwa hal terbaik yang dimiliki warga negara India, juga politisi dan administrator, yang diharapkan dapat terwujud untuk waktu yang akan datang adalah pengelolaan korupsi, bukan pemberantasan korupsi.

Secara garis besar, saya sependapat dengan penulis bahwa permasalahan korupsi tidak dapat hanya dipandang dari sisi universal saja. Banyak faktor yang memperngaruhi terjadinya tindakan korupsi. Salah satu faktor, sebagaimana yang dijelaskan oleh penulis di dalam penelitiannya, adalah fator nilai-nilai sosial dan budaya setempat. Budaya di India tentu sangat berbeda dengan budaya di belahan bumi lain, budaya Eropa misalnya.

Jika dianalisis dengan “fraud triangle”, unsur-unsur keyakinan dan nilai sosial budaya suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap cara berperilaku masyarakat ketika menghadapi suatu “pressure”, ketika terdapat “opportunity” untuk melakukan suatu tindakan, dan ketika lingkungan sekitar mendukung “rationalization” dalam menilai baik atau benar akan suatu perbuatan. 

Tingkat tekanan suatu masalah yang dapat ditoleransi yang dialami oleh seorang masyarakat India tentu berbeda dengan seorang masyarakat Eropa. Dari sini kemudian permasalahan korupsi dapat dianalisis lebih dalam untuk mendapatkan cara yang efektif untuk mencegahnya.

Dalam penelitiannya, penulis telah meneliti bagaimana budaya masarakat India mempengaruhi kondisi politik di pemerintahan dan kemudian disajikan dalam makalahnya. Namun, penulis kurang secara eksplisit menunjukkan budaya mana yang berpengaruh terhadap praktek korupsi baik budaya yang mendukung korupsi ataupun antikorupsi. Penulis hanya menyajikan contoh-contoh perilaku kehidupan masyarakat India yang begitu menjunjung tinggi nilai-nilai sosial budaya.

Selain itu, penulis tidak menyajikan langkah-langkah preventif maupun punitif yang efektif yang dapat dilakukan di tengah-tengah nilai sosial dan budaya masyarakat India. Penulis hanya berpendapat bahwa pengelolaan korupsi lebih penting daripada pemberantasan korupsi. Disini terlihat adanya kontradiksi. Tujuan akhir, secara ideal, dari proses pengelolaan korupsi adalah menghilangkan sepenuhnya peramasalahan korupsi. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah, mendeteksi, dan menginvestigasi haruslah berjalan secara sinergi.

Dari sisi penyajian tulisan, penulis tidak membagi sistematika penulisan secara terstruktur. Penulis cenderung menceritakan berbagai macam fakta dan pendapatnya tanpa membedakan bagian mana yag merupakan pendahuluan, bagian mana yang merupakan landasan teori, dan bagian mana yang merupakan pembahahsan dan hasil penelitiannya sehingga pembaca harus membutuhkan usaha ekstra untuk mengklasifikasi tulisan tersebut dalam rangka untuk memperoleh pemahaman komprehensif yang sesuai dangan maksud dan tujuan penulis.

Referensi:
  1. Albrecht, W. Steve, Chad O. Albrecht, Conan C. Albrecht, Mark F. Zimbelman. 2012. Fraud Examination, Shouth-Western: Cengage Learning.
  2. Price, Pamela, 1999, Cosmologies and Corruption in (South) India - Thinking Aloud, Forum for Development Studies.
  3. Tuanakotta, Theodorus M., 2017, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat.



No comments

ruang diskusi: