1. Fenomena Penetapan Peraturan Perundang-undagan tentang Keterbukaan Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, ketentuan mengenai kerahasiaan informasi keuangan pada perbankan dan lembaga keuangan non bank lainnya tidak berlaku lagi untuk kepentingan perpajakan. PERPPU ini diterbitkan sebagai salah satu prasyarat agar Indonesia dianggap layak ikut dalam pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/AEOI) di dunia internasional.
Selain itu, PERPU ini juga akan memberikan landasan yang kuat bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat menggali sumber-sumber penerimaan yang selama ini datanya sangat sulit diperoleh karena adanya hambatan aturan mengenai kerahasiaan perbankan.
Tentu, dengan semakin terbukanya informasi tentang sumber-sumber penerimaan Negara yang potensial, diharapkan penerimaan Negara dari perpajakan dapat meningkat secara signifikan. Lalu, apakah kenyataan yang terjadi akan semudah dan seindah harapan tersebut? Untuk menjawab pertannyaan tersebut maka perlu dilakukan analisis secara ekonomi, baik mikro maupun makro, baik dengan pendekatan teori maupun pendekatan eksperimen.
2. Fenomena Demand Shock Penyebab Kenaikan Harga Barang Kebutuhan Pokok Menjelang Hari Raya Idul Fitri
Dari tahun ke tahun, sepertinya telah menjadi hal yang wajar apabila harga barangg kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga pada saat menjelang Hari Raya Idul Fitri, daging misalnya. Besarnya permintaan masyarakat terhadap daging pada hari-hari menjelang Hari Raya Idul Fitri bisa jadi menrupakan sala satu penyebab kenaikan harga daging. Lalu, apakah hanya semata-mata disebabkan oleh besarnya permintaan?
Disisi lain, penawaran akan daging dari para peternak di Indonesia seharusnya dapat mengimbangi melonjaknya permintaan.
Data produksi daging, mekanisme pemasaran daging, dan peraturan perundangan-undangan tentang pengelolaan daging mungkin dapat dijadikan sebagai bahan untuk melakukan analisis untuk menjawab fenomena ini.
3. Fenomena Menumpuknya Eksternalitas Negatif Masa Depan Pada Masa Sekarang Sebagai Akibat Dari Meningkatnya Kemudahan Syarat Kredit Kepemilikan Barang
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyaknya kendaraan bermotor yang membanjiri jalanan di Indonesia memberi banyak permasalahan seperti polusi udara dan macet. Beberapa opsi penyelesaian masalah telah dilakukan mulai dari pelebaran jalan, penambahan kendaraan umum dengan harapan akan berkurangnya jumlah kendaraan pribadi, kenaikan tarif pajak, kenaikan tarif parkir, dll. Walaupun demikian, eksternalitas negatif dari banyaknya kendaraan bermotor belum juga dapat teratasi secara optimal.
Pertanyaannya adalah mengapa peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tidak dapat dikendalikan? Salah satu hal yang dapat diduga menjadi penyebabnya adalah adanya kemudahan fasilitas kredit untuk memiliki kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor yang jika tanpa kredit seharusnya hanya dapat dimiliki di masa depan, akhirnya menumpuk di masa sekarang. Ini berarti mendatangkan manfaat dan biaya di masa depan ke masa sekarang.
Apakah memang benar demikian? Apakah hanya kendaraan bermotor saja? Bagaimana dengan rumah? Untuk menjawab permasalahan ini perlu dilakukan analisis ekonomi mikro maupun makro untuk mengetahui perilaku individu dalam mengkonsumsi barang serta dampaknya terhadap munculnya eksternalitas negatif.
4. Fenomena Underground Economy Di Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Potensi Penerimaan Perpajakan
Underground economy adalah istilah dalam ilmu ekonomi yang digunakan untuk merepresentasikan suatu kegiatan ekonomi di dalam sebuah negara yang terlewat dari perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB). Kegiatan underground economy dapat bersifat legal maupun illegal. Berikut adalah beberapa contoh kegiatan ekonomi yang termasuk underground economy menurut Smith (1994) dalam Faal (2003):
Sumber: http://www.bi.go.id
Semua transaksi yang terjadi dalam underground economy tersebut di atas berpotensi besar tidak pernah tercatat atau terhitung untuk menghitung besarnya PDB. Karena tidak dimasukkan dalam komponoen untuk menghitung PDB, hasil perhitungan PDB dapat bernilai lebih rendah dari pada nilai yang sebenarnya (under valued). Begitu juga dengan perpajakan. Potensi penerimaan pajak dari kegiatan underground economy dapat diketahui kepastian keberadaannya, hanya belum dapat dipungut.
Bagaimana menghitung besarnya nilai underground economy?
Terdapat beberapa metode untuk menghitung besarnya nilai underground economy, antara lain:
- Pendekatan Langsung, yaitu melakukan sebuah survei pada sekelompok sampel dengan metode sampel tertentu.
- Pendekatan Tidak Langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai variabel ekonomi makro seperti dikresi antara PDB Pengeluaran dan PDB Pendapatan, diskresi antara partisipasi kerja di sektor legal dan aktual, dan pendekatan moneter.
Penelitian yang pernah dilakukan:
No.
|
Nama
Peneliti
|
Judul
Penelitian
|
Metode
Penelitian
|
Hasil
|
1.
|
Emerta Asaminew (2010)
|
The Underground Economy and Tax Evasion in Ethiopia: Implications for Tax Policy
|
Kuantitatif
|
Underground Di Ehiopia sebesar 42,5% dari PDB
|
2
|
Sheikh Touhidul Haque (2013)
|
Underground
Economy of Bangladesh: An Economic Analysis
|
Kuantitatif
|
Underground
economy di Bangladesh sebesar 7% dari PDB pada tahun 1973
menjadi 62,75% dari PDB pada tahun 2010
|
3
|
Sri Juli Asdiyanti Samuda (2016)
|
Underground
Economy In Indonesia
|
Kuantitatif
|
Underground economy di Indonesia pada tahun 2001 –
2013 memiliki nilai rata-rata sebesar 8,33% dari PDB dan potensi penerimaan
perpajajakan yang hilang memiliki nilai rata-rata sebesar Rp11.172,86 miliar.
|
Adapun, penulis akan mencoba melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan moneter dengan memodifikasi persamaan model permintaan uang kartal yang pernah digunakan oleh para peneliti terdahulu serta menggunakan data yang lebih up to date. Berikut adalah diagram tahapan penghitungan underground economy dengan pendekatan moneter:
Sumber: http://www.bi.go.id
No comments
ruang diskusi: