Pajak e-Commerce: Mengapa DJP Bingung? - Kelas Ekonomika

Post Top Ad

Tuesday, April 3, 2018

Pajak e-Commerce: Mengapa DJP Bingung?



Direktorat Jenderal Pajak (DJP), oleh beberapa media tanah air, diberitakan tengah kebingungan menghadapi mekanisme rumit pengenaan pajak terhadap aktivitas jual beli melalui media internet yang semakin berkembang pesat kahir-akhir ini. Media pewarta internet liputan6.com, misalnya, memberitakan pada tanggal 5 Oktober 2017 bahwa pemerintah akan segera mengeluarkan aturan perpajakan untuk bisnis jual beli online (e-commerce). Namun, sampai dengan artikel ini ditulis, 31 Oktober 2017, aturan tersebut belum juga diterbitkan. Menurut Ken Dwijugiasteadi, Direktur Jenderal Pajak, peraturan terkait pengenaan pajak pada e-commerce tersebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Konsepnya sudah ada, hanya tinggal menunggu pengesahannya saja. Cukup rumit sepertinya sehingga peraturan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat tersebut belum juga dapat ditandatangani oleh Menteri Keuangan.

 Sumber: bisnis.liputan6.com

Berbagai diskusi, tanggapan, dan opini dari berbagai kalangan masyarakat juga turut mewarnai situasi yang cukup pelik ini. Berikut adalah beberapa contoh pendapat masyarakat terkait rencana pemerintah untuk mengenakan pajak terhadap aktivitas e-commerce yang terdapat pada kolom komentar pada pemberitaan yang ditulis oleh detik.com pada tanggal 4 Oktober 2017 dengan judul berita “Siap-siap! Pelaku e-commerce Bakal Dikejar Pajak”.



 Sumber: detik.com

Dari beberapa komentar tersebut, terlihat ada sebagian pelaku e-commerce yang masih tidak rela jika aktivitasnya dikenai pajak. Namun, beberapa pelaku e-commerce yang lain sudah menyadari bahwa aktivitas jual beli online seharusnya dikenai pajak sebagaimana aktivitas jual beli offline.

DJP pernah tegas terhadap e-commerce

Polemik mengenai pengenaan pajak terhadap bisnis online sebenarnya telah terlihat pada beberapa tahun yang lalu. Puncaknya, DJP mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-Commerce. Di dalam surat edaran tersebut ditegaskan bahwa perlakuan terkait perpajakan terhadap pelaku bisnis online adalah sama dengan perlakuan terhadap pelaku bisnis offline. Perbedaan antara bisnis online dan bisnis offline hanya sebatas terdapat pada media untuk transaksi, selebihnya sama. 



Di dalam lampiran surat edaran tersebut, DJP secara lebih rinci membagi jenis-jenis model bisnis e-commerce serta menjabarkan semua aspek perpajakan yang harus dipenuhi termasuk diantaranya penjelasan mengenai objek pajak, subjek pajak, dasar hukum, besaran tarif, dan jenis pajak yang harus dibayar dan dilaporkan oleh pelaku bisnis e-commerce. Terdapat empat jenis model bisnis yang dicontohkan oleh DJP melalui surat edaran tersebut, yaitu Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan Online Retail. 

Model bisnis Online Marketplace merujuk pada bisnis online yang berupa penyediaan tempat berdagang bagi para pedagang online (pemilik toko online) untuk memajang barang dagangannya di mal internet tersebut. Online marketplace di Indonesia contohnya adalah lazada, tokopedia, bukalapak, shopee, dan masih banyak yang lainnya. Transaksi yang terjadi dalam model bisnis ini antara lain transaksi pembayaran jasa penyediaan tempat dan waktu pemajangan barang dagangan di mal internet dari pemilik toko online kepada penyelenggara online marketplace, transaksi transfer pendapatan penjualan dari penyelenggara online marketplace kepada para pemilik toko online, dan transaksi penjualan dari pemilik toko online kepada para pembeli.

Model bisnis Classified Ads dan Daily Deals terlihat lebih sederhana. Classified Ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan waktu kepada pengiklan untuk memajang content (tulisan, grafik, video, dan bentuk informasi lainnya) yang bersifat iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara Classified Ads. Transaksi yang terjadi adalah transaksi pembayaran jasa penyediaan tempat dan waktu dari pengiklan kepada penyelenggara Classified Ads. Sedangkan bisnis Daily Deals adalah kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa situs tempat penjual barang/jasa  untuk menjual barang/jasanya dengan fasilitas voucher. Transaksi yang terjadi antara lain transaksi pembayaran sewa situs bulanan dari pemilik Daily Deals kepada penyelenggara Daily Deals, transaksi penjualan barang/jasa dengan voucher dari pemilik Daily Deals kepada para pembeli, dan transaksi penyetoran hasil penjualan voucher dari penyelenggara Daily Deals kepada pemilik Daily Deals. Pembagian revenue dari aktivitas tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan antara kedua belah pihak.

Pada jenis model bisnis Retail Online, pemilik situs dan penjual barang adalah orang yang sama sehingga transaksi yang terjadi hanyalah transaksi antara penjual dan pembeli. Jenis bisnis online ini tidak membutuhkan perantara mal internet atau penyelenggara online marketplace untuk menjalankan bisnisnya.

Pada intinya, keempat model bisnis online tersebut memiliki proses bisnis yang sama dengan bisnis offline pada umumnya, hanya saja metode pemajangan produk dan transaksi pembayarannya dilakukan secara online. Telah terdapat definisi yang jelas tentang siapa pemilik usaha, siapa penerima penghasilan, dan siapa yang wajib memotong dan memungut pajak sehingga, seharusnya, tidak ada lagi alasan untuk memberikan special treatment dengan menerbitkan peraturan baru untuk menjaring pendapatan negara dari aktivitas e-commerce. 

Jadi, untuk apa ada PMK e-commerce?

Menurut isu yang beredar di masyarakat, PMK yang katanya akan segera diterbitkan oleh pemerintah tersebut mengatur tentang detil pengenaan pajak terhadap pelaku bisnis e-commerce, termasuk di antaranya adalah tarif dan sistem pemungutannya. Sebagaimana yang diberitakan oleh katadata.co.id dalam situsnya pada tangal 4 Oktober 2017, Dirjen Pajak menyampaikan bahwa besaran tarif pajak e-commerce tidak akan lebih dari 10%.

Sumber: katadata.co.id



Di sisi ini, jelas akan mewujudkan ketidakadilan di antara pelaku bisnis online dan offline. Selama ini, pelaku usaha atau pemilik toko offline diwajibkan tunduk terhadap peraturan perpajakan yang telah ada dengan mengikuti tarif pajak yang secara teknis telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat diberlakukan kepada siapapun wajib pajaknya dan apapun objek pajaknya, yaitu tarif pajak penghasilan pasal 17 Undang-Undang PPh. Lebih lanjut, bagi wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan dan peredaran bruto usaha dalam setahun tidak melebihi Rp4,8 miliar maka dapat menggunakan metode Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN). Peraturan mengenai tarif ini bersifat general dan dapat diterapkan pada model bisnis jenis apapun, baik online maupun offline. Pemberlakuan tingkat tarif yang spesial pada e-commerce ¬akan dapat menimbulkan kesenjangan di antara pelaku bisnis.

Di sisi sistem pemungutan pajak, kabarnya, PMK e-commerce juga akan menerapkan sistem official assessment. Jika benar, ini akan menjadi beban tersendiri bagi sistem perpajakan di Indonesia yang telah menggunakan sistem self assessment. Sebagaimana diketahui, sistem official assessment membutuhkan jumlah pegawai pajak yang cukup besar untuk melakukan penghitungan dan penetapan kewajiban pajak semua wajib pajak di Indonesia. Selain itu, sistem official assessment mensyaratkan ketersedian database wajib pajak yang kuat dan akurat. Tanpa database yang kuat dan akurat, kepastian penetapan kewajiban pajak akan sulit untuk dicapai. Sistem self assessment adalah bentuk sistem yang paling tepat diterapkan di Indonesia. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan menetapkan jumlah pajak terutangnya karena mereka sendirilah yang lebih tahu dengan detil berapa dan dari mana saja sumber penghasilannya. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan pengawas untuk memastikan para wajib pajak bertindak patuh terhadap peraturan perpajakan.

Jadi, pemerintah tidak perlu menghamburkan sumber daya hanya untuk membahas pemberian perlakuan yang spesial kepada industri e-commerce. Apabila perlakuan spesial ini berjalan terlalu jauh sehingga menjadi bersifat diskriminatif terhadap bisnis selain e-commerce, ketidakadilan akan muncul yang pada akhirnya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara pelaku bisnis di tanah air.

Langkah terbaik

Terhadap pesatnya pertumbuhan bisnis e-commerce yang diduga juga telah menyebabkan bangkrutnya beberapa retailer besar konvensional di tanah air, DJP tidak perlu seolah terlihat gelisah bagaimana mencari cara menjaring penerimaan perpajakan dari industri ini. Mereka sama dengan pelaku bisnis konvensional yang lainnya. Hanya saja, keberadaan toko fisiknya yang beberapa di antaranya memang tidak berwujud. Barang dan jasa yang diperjualbelikan pun juga sama antara pedagang online dan offline.

Pemerintah tidak perlu menghamburkan energi untuk mengubah sistem perpajakan dan mengenakan tarif khusus terhadap pelaku ¬e-commerce. Satu hal yang perlu dilakukan adalah memikirkan dan kemudian menetapkan langkah terbaik untuk menciptakan database pelaku bisnis ¬e-commerce yang kuat dan akurat. DJP dapat bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya. Semua pemilik situs jual beli barang dan jasa secara online wajib mendaftarkan izin usaha selayaknya toko atau perusahaan offline. Jangan mau kalah dengan pelaku e-commerce, pengawasan oleh DJP juga dapat dilakukan dengan cara berbasis online. Data traffic transaksi jual beli dari suatu situs internet dapat diperoleh yang kemudian dapat dijadikan indikator kepatuhan seorang wajib pajak pelaku e-commerce. Apabila data traffic tidak sebanding dengan jumlah pajak yang dilaporkan, langkah pemeriksaan dapat dilakukan kemudian.
Kemajuan teknologi memang menimbulkan banyak kemudahan bagi masyarakat, termasuk kemudahan menghindari kewajiban perpajakan melalui bisnis e-commerce. Namun, bukan berarti teknologi tidak memberikan kemudahan juga kepada entitas pengawas pajak. Butuh kerjasama dan sinergi dari berbagai elemen masyarakat untuk membawa kemajuan teknologi ini menjadi asset yang membawa kemakmuran bagi bangsa Indonesia juga. Akhirnya, semoga sinergi antara pemerintah dan masyarakat baik fiskus, wajib pajak, pelaku bisnis offline, pelaku bisnis online, dan semua elemen masyarakat lainnya dapat terwujud demi Indonesia yang lebih baik. 

Referensi:
  • Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2013. Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-Commerce.
  • Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentua Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  • Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
  • Redaksi liputan6. Dirjen Pajak: Aturan Pajak e-commerce Keluar Pekan Depan. http://bisnis.liputan6.com/read/3118812/dirjen-pajak-aturan-pajak-e-commerce-keluar-pekan-depan. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2017.
  • Redaksi detik.com. Siap-siap! Pelaku e-commerce Bakal Dikejar Pajak. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3669150/siap-siap-pelaku-e-commerce-bakal-dikejar-pajak. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2017.
  • Redaksi katadata. Sri Mulyani Akan Tarik Pajak e-comemerce Di Bawah 10%. https://katadata.co.id/berita/2017/10/04/sri-mulyani-akan-tarik-pajak-e-commerce-di-bawah-10. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2017.

No comments:

Post a Comment

ruang diskusi:

Post Top Ad