Perkembangan teknologi seperti sudah tidak dapat terbendung lagi. Dampaknya memaksa pergeseran di berbagai lini. Mau tidak mau, semua harus serba digital. Peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pelaku bisnis milenial, termasuk penyedia jasa keuangan, sehingga muncul cara baru dalam berbisnis dengan nama financial technology atau lebih mudah sering disebut dengan fintech. Sederhananya, fintech merupakan teknologi yang digunakan untuk menjalankan bisnis jasa keuangan sehingga model bisnis menjadi serba cepat, mudah, dan dapat menjangkau nasabah yang lebih luas. Kemudahan dan kecepatan dalam mengakses pasar keuangan melalui dunia maya ini sepertinya yang menjadi penyebab pesatnya pertumbuhan pasar fintech belakangan ini. Sebenarnya, pemanfaatan teknologi dalam bisnis jasa keuangan telah berkembang sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan inovasi penggunaan kartu kredit, pengambilan uang tunai di Automated Teller Machine (ATM), hingga munculnya internet banking, uang elektronik dan, terakhir, fintech.
Sampai dengan saat ini, berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Fintech Indonesia per 1 Februari 2019, jumlah perusahaan startup berorientasi fintech di Indonesia telah mencapai 162 perusahaan. Namun, jumlah yang perusahaan fintech yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Desember 2018 hanya sebanyak 88 perusahaan. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah mengingat dukungan dari sisi permintaan yang masih kuat karena peran perbankan masih belum optimal dan masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati akses terhadap layanan perbankan.
Setidaknya, terdapat empat kategori bisnis fintech yang telah beroperasi di Indonesia: (i) peer-to-peer lending dan crowdfunding, (ii) market aggregator, (iii) manajemen risiko dan investasi, dan (iv) payment, clearing, dan settlement. Layaknya marketplace dalam bisnis perdagangan daring, penyelenggara fintech berbasis peer-to-peer lending dan crowdfunding menyediakan platform yang dapat mempertemukan penyedia dana dan pengguna dana secara mudah dan cepat. Peminjam atau pengguna dana tidak perlu bertemu langsung dengan pemilik dana. Semua transaksi antara pemilik dana dan pengguna dana dilakukan dan dikelola melalui platform penyelenggara fintech. Lain halnya dengan fintech berbasis peer-to-peer lending dan crowdfunding, perusahaan fintech berjenis market aggregator hanya menyediakan informasi berbagai macam layanan keuangan sehingga pengguna dapat dengan mudah membandingkan layanan keuangan mana yang akan dipilih. Penyelenggara fintech berjenis market aggregator sifatnya hanya menyajikan data berbagai macam produk finansial yang secara head-to-head juga dapat membandingkan dengan produk finansial lainnya, baik dari sisi harga, fitur, risiko, maupun manfaatnya. Mirip dengan kategori market aggregator, perusahaan fintech berjenis manajemen risiko dan investasi menyediakan layanan yang lebih mendalam yaitu layanan perencanaan keuangan berbentuk digital kepada penggunanya. Penyelenggara fintech bejenis ini dapat menilai kondisi finansial penggunanya serta dapat melakukan perencanaan keuangan di masa depan hanya dengan menggunakan smartphone. Kategori perusahaan fintech selanjutnya, yaitu kategori payment, clearing, dan settlement, memberikan layanan pembayaran secara digital. Layanan pembayaran digital ini memudahkan pengguna untuk bertransaksi dalam perdagangan secara online dalam satu portal.
Dibalik pesatnya perkembangan bisnis fintech, disamping besarnya manfaat berupa kemudahan dan kecepatan dalam bertransaksi, terdapat juga risiko yang besar. Seperti diberikatakan kompas.com pada tanggal 10 Desember 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mencatat terdapat 89 penyelenggara aplikasi pinjaman online alias fintech kategori peer to peer lending yang diadukan oleh 1.330 orang korban. Dari 89 penyelenggara fintech tersebut, 25 diantarnya telah terdaftar di OJK. Aplikasi tersebut diduga melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terhadap peminjam. Kasus lain yang tidak kalah menarik perhatian publik adalah banyaknya korban pinjaman online yang tidak sanggup membayar hutangnya karena bunga pinjaman yang sangat besar. Korban diancam dengan ancaman pemecatan dari tempatnya bekerja hingga ancaman pembunuhan. Bahkan, terdapat korban yang terpaksa harus menjual ginjal dan berniat bunuh diri karena telah sampai pada tingkat depresi parah.
Regulator fintech
Sebenarnya, layanan pinjam meminjam uang secara digital sudah diatur oleh Bank Indonesia (BI) dan OJK. Regulasi layanan jasa teknologi keuangan yang dikeluarkan BI antara lain Peraturan BI (PBI) 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik, PBI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, dan Surat Edaran BI Nomor 18/22/DKSP perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital, sedangkan aturan yang dirilis OJK antara lain Peraturan OJK (POJK) Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) Di Sektor Jasa Keuangan dan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Di dalam peraturan-peraturan tersebut telah diatur secara tegas kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh penyelenggara bisnis fintech termasuk kewajiban pendaftaran, pengelolaan bisnis yang baik, pelaporan, dan edukasi kepada masyarakat. Di sisi lain, OJK juga mengeluarkan himbauan kepada masyarakat agar menggunakan platform bisnis fintech yang telah terdaftar di OJK agar lebih aman dan risiko kerugiannya dapat dikelola dengan baik.
Sanksi bagi penyelenggara fintech yang melanggar regulasi dapat berupa teguran, denda, penghentian sementara, dan pencabutan izin. Selain itu, BI dan OJK juga dapat meminta pihak berwenang lainnya, misalnya Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk memblokir situs atau pembatasan layanan lainnya bagi penyelenggara fintech yang melakukan pelanggaran.
Di sisi lain, para pegiat bisnis fintech juga tidak mau disalahkan begitu saja. Jika memang peminjam dana tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan dana, tindakan tegas juga harus diterapkan. Seperti di dalam bisnis perbankan, misalnya, penggunaan jasa debt collector untuk menagih utang sudah merupakan rahasia umum. Cara-cara kasar dan intimidatif yang dilakukan oleh para debt collector pun bukan merupakan hal yang luar biasa lagi. Oleh karena itu, regulasi jangan sampai hanya menembak sisi penyedia layanan fintech. Regulasi yang mengatur tentang hak dan kewajiban dari sisi peminjam dana juga harus segera dikeluarkan agar jelas langkah-langkah yang dapat diambil oleh penyedia layanan fintech terhadap penggunanya yang tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Jika ingin berkiblat ke negara lain, regulasi fintech yang dikenal telah berjalan dengan baik terdapat di negara Tiongkok, Brasilia, Singapura, dan Amerika. Keempat negara tersebut benar-benar concern terhadap bisnis fintech sejak awal muncul. Dukungan, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan lainnya, ditujukan semata-mata untuk mengembangkan industri fintech, bukan malah mengkerdilkannya.
Peran masyarakat profesi keuangan
Selain sebagai pengguna fintech, masyarakat juga dapat berperan sebagai pengawas praktik bisnis yang tengah merajalela ini, khususnya masyarakat profesi keuangan. Sebagai contoh, para akuntan, baik secara pribadi maupun melalui asosiasi, yang memiliki kemampuan dalam bidang penyusunan laporan keuangan dan analisis informasi keuangan perusahaan dapat melakukan edukasi kepada masyarakat pengguna fintech perihal cara-cara mengidentifikasi bisnis fintech yang sehat dan memiliki keberlanjutan yang baik. Selain itu, para akuntan juga dapat masuk ke dalam perusahaan fintech sebagai penyusun laporan keuangan yang benar-benar mencerminkan kondisi keuangan perusahaan dan dapat dinformasikan secara efektif kepada masyarakat. Profesi keuangan lain seperti manajer investasi dan penilai bisnis pun kiranya dapat juga berbagi peran yang serupa.
Namun, kondisi ini bisa jadi hanyalah harapan idealis yang dalam praktiknya tentu tidak mudah untuk diwujudkan, apalagi tanpa ada paksaan dari otoritas yang berwenang. Untuk itu, kebijakan untuk turut mengambil peran pengawasan terhadap bisnis fintech bagi lembaga pembina profesi keuangan dapat menjadi sebuah pilihan strategis. Langkah pertama dapat dimulai dengan mewajibkan para professional keuangan terdaftar untuk memiliki kompetensi dalam hal pengelolaan dan penyajian informasi keuangan perusahaan fintech yang sesuai dengan standar dan regulasi terkait. Dari sini, permintaan perusahaan fintech akan jasa profesi keuangan yang profesional pun akan dapat tercukupi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kewajiban pelaporan informasi keuangannya kepada BI dan OJK maupun pengungkapan sukarela kepada masyarakat pengguna. Sesuai dengan Pasal 46 POJK Nomor 77/POJK.01/2016, perusahaan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan perusahaan kepada OJK. Namun, POJK tersebut tidak secara eksplisit mewajibkan perusahaan fintech untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Walaupun demikian, dalam praktiknya, peran akuntan publik masih tetap digunakan oleh beberapa perusahaan fintech untuk menerbitkan laporan keuangan audited.
Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun tidak secara langsung, terdapat celah bagi lembaga pembina akuntan dan akuntan publik, dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan untuk melakukan pengawasan terhadap praktik bisnis perusahaan fintech. Kementerian Keuangan dapat meningkatkan perannya dengan cara mewajibkan atau membina para akuntan publik untuk memiliki kompetensi dalam bidang audit secara elektronik. Seperti dalam tertulis Pasal 27 POJK Nomor 77/POJK.01/2016, penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi wajib menyediakan rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatannya di dalam sistem elektronik. Secara tidak langsung, hal ini menuntut para akuntan publik untuk dapat menguasai prosedur audit secara elektronik jika akan melakukan perikatan audit dengan perusahaan fintech.
Dalam langkah yang lebih serius, Kementerian Keuangan berpeluang untuk menginisiasi regulasi yang mewajibkan seluruh laporan keuangan perusahaan, termasuk penyelenggara bisnis fintech, untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada otoritas pengelola laporan keuangan. Bukan hanya mengumpulkan laporan keuangan, pada tataran teknologi digital, otoritas pengelola laporan keuangan juga semestinya mampu menyediakan platform yang dapat menyajikan data dan informasi keuangan perusahaan pelapor lengkap dengan hasil analisis kinerja keuangannya sehingga dapat membantu para pengguna laporan keuangan pada level pengambilan keputusan.
Pada akhirnya, perkembangan industri keuangan dalam suatu negara, baik berbasis teknologi maupun konvensional, tentu membutuhkan peran dari seluruh elemen masyarakat. Pemerintah tidak dapat berdiri sendiri dalam menjamin kemananan, menjaga stabilitas iklim usaha, maupun meningkatkan pertumbuhan industri keuangan. Negara membutuhkan peran seluruh warganya, termasuk regulator, penyelenggara, pengguna, maupun para professional di bidang teknologi dan keuangan, untuk bersinergi memberikan potensi terbaiknya.
No comments
ruang diskusi: